RAB.com (JAKARTA): Pada tanggal 21 Februari 2017 sekitar pukul 06.00, turap atas di bawah gudang rumah saya akhirnya ambrol. Saat itu arus kali Mampang yang sedang meluap akibat hujan lebat sejak dini hari menerjang kuat turap bagian bawah. Akibat terkikisnya struktur turap secara keseluruhan, tanah belakang terutama rumah di Jl. Manggasari nomer 25, 26 dan 27 longsor masuk kali.
Bahkan lantai dan tembok gudang belakang bagian dari rumah nomer 26 kondisinya sudah “melayang” karena sebagian material tanah penyangga di bawahnya ikut longsor. Tepatnya karena struktur tembok di atas turap bagian bawah runtuh akibat terjangan arus kali yang pagi itu tampaknya menjangkau lebih tinggi daripada biasanya.
Masalah rusaknya turap kali menjadi dilema bagi warga terdampak longsor. Antara keluar duit sendiri mendanai perbaikan fasilitas umum rusak agar berkepastian waktu demi mencegah terjadinya kerusakan dan kerugian lebih besar, atau menunggu entah sampai kapan kehadiran negara lewat pemerintah daerah (pemda) melakukan kewajibannya memperbaiki infrastruktur rusak itu.
Yang terbayang di kepala, perbaikan fasilitas umum itu baru dikerjakan setelah bisa bertarung dan memenangkan prioritas untuk ditangani lebih dulu dibanding kerusakan infrastruktur yang lain di satu wilayah. Masalahnya bagaimana agar infrastruktur rusak bisa menjadi prioritas yang mendesak dan ditangani lebih dulu selama ini pertimbangan damn kriterianya terkesan tidak jelas.
Apa karena intensitas kerusakan harus sebegitu parah? Apa karena sudah diajukan lebih dulu dalam rencana atau usulan anggaran pemeliharaan/pembangunan di satu wilayah RT/RW/Kelurahan? Apakah menunggu sampai bagian rumah terdampak ikut longsor ke kali? Atau apakah harus ada korban jiwa dulu agar kerusakan turap itu diperbaiki?
Faktanya turap rusak yang berada di seberang utara kompleks Kantor Departemen Pertanian itu sudah berkali-kali diajukan perbaikannya ke forum RW sampai forum kelurahan lain sedikitnya sejak lima-enam tahun lalu. Tapi sampai terjadinya peristiwa turap ambrol tidak ada langkah perbaikan sama sekali dari instansi berwenang meskipun letaknya di pinggir jalan besar yang sangat ramai.
Birokrasi lamban
Tampaknya korban longsor harus “berteriak” lewat media massa dulu untuk mendapatkan perhatian selayaknya dari instansi berwenang di DKI Jakarta. Sehingga mungkin harus dimohonkan pula maaf kepada pengurus RT, RW dan aparat Kelurahan kalau merasa dilangkahi, karena kami sungguh tak tahu ke mana lagi harus melapor agar turap rusak cepat ditangani.
Seperti biasa birokrasi lamban: bahkan penguasa wilayah selevel lurah yang sudah meninjau langsung beberapa rumah di atas turap ambrol pada 21 Februari 2017, sampai 7 Maret 2017 tidak bisa memberi kepastian kapan perbaikan turap dilakukan. Hanya ada informasi dari Lurah (saya dengar dari mantan ketua RT 12 yang bagian belakang rumahnya juga terancam ikut longsor) bahwa turap itu akan diperbaiki oleh Dinas PU dengan memasang bronjong (hanya) setinggi 2 meter dari dasar kali entah kapan.
Ketidakpastian waktu perbaikan ini menjadi krusial karena musim hujan masih beberapa bulan ke depan dan kini arus kali berdebit air di atas rata-rata setiap detik terus menggerus turap yang rusak itu sehingga longsor lanjutan bisa setiap saat terjadi. Penyebabnya jelas tak diketahui seberapa kuat sisa turap dan puing yang ada (yang menahan beban di atasnya) bertahan dari gerusan arus kali.
Perkembangan terakhir di rumah nomer 26, keretakan jelas terlihat di tembok dapur yang berada di depan gudang. Sedangkan kondisi turap atas secara kasat mata paling parah: bentangan beton sepanjang sekitar 10 meter di belakang rumah nomer 26 dan 27 yang awalnya hanya retak dan turun sekitar 0,5 meter, kini konstruksi ruas turap itu sudah lepas dan amblas 1,5 hingga 3,5 meter.
Bagian turap patah dan amblas itu kini meninggalkan ruang besar bawah penopang lantai (growong) di bangunan bagian belakang rumah nomer 25, 26, dan 27. Ruang itu terlihat sangat tidak stabil dan rapuh karena tinggal tanah lempung merah yang pasti tambah/kembali longsor saat turap bagian bawah “bergerak” lagi.
Jadi selain tak ada kepastian kapan diperbaiki, informasi perbaikan turap hanya setinggi 2 meter (disebut sesuai dengan aturan) yang disampaikan terkesan seadanya dan sangat tidak memadai karena turap yang lebih rusak justru yang di . Maksudnya warga terdampak longsor sebenarnya tak perlu dipusingkan dengan seberapa tinggi turap akan dibangun karena sejak tinggal di lokasi faktanya turap atas yang lalu menjadi tumpuan bagian belakang rumah itu sudah ada.
Akibat tanah diuruk
Pengikisan turap kali dari pengamatan sedikit-banyak juga disumbang adanya dinding kali baru di depan terowongan. Karena tanggul baru tepat di bawah tanah yang sekarang sudah menjadi milik pengembang Asiana dan beberapa bulan lalu diuruk itu, arus air kencang saat hujan lebat menjadi terarah ke satu area di seberang sisi kali yang menyangga tanah belakang rumah kami.
Salah satu petugas dinas PU Sumberdaya Air yang datang melihat pada 22 Februari 2017 mengatakan bahwa badan kali sebenarnya cukup lebar tapi karena tanggul itu arah arus kali jadi bermasalah. Mantan ketua RT 12 mengatakan arus air begitu keluar terowongan di bawah tol TB Simatupang itu selama ini tak bermasalah karena sebelum diuruk sebagian air lari ke arah tanah Asiana yang dulu lebih rendah.
Tampaknya Asiana memang tidak mau rugi saat sudah membeli tanah yang sebenarnya merupakan bantaran kali. Asiana membangun tanggul di bagian bawah urukannya sampai mentok sehingga memakan badan kali dan mau tak mau menyebabkan perubahan arus air tadi, khususnya saat debitnya besar seperti pada pagi 21 Februari lalu.
Perubahan debit dan arah arus tadi ikut menyumbang terjadinya longsor, lepas dari turapnya memang sudah tua dan rapuh. Cepatnya kejadian longsor itu mengherankan karena sebenarnya aliran debit air yang besar bukan hanya pagi itu. Selama sekitar 13 tahun saya tinggal di kompleks Wisma Tani terjadi beberapa kali hujan besar, tapi baru pada kejadian kali ini tembok saya di atas turap sampai longsor masuk ke kali.
Yang jelas selama ini kami, para pemilik rumah di sisi barat Kali Mampang yang kontur tanahnya naik dan sebagian terjal, tidak pernah menciutkan badan kali. Dan faktanya baru beberapa bulan dinding di bawah lahan yang diuruk Asiana itu dibangun. Sekarang deras arus air itu menjadi masalah karena dulu masih bisa “merembes” dan membanjiri pemukiman di sisi timur kali (yang sudah dibeli Asiana dan diuruk).
Hal itu perlu dipaparkan mengingat perbaikan/pembangunan turap setinggi 2 meter di sisi barat Kali Mampang akan percuma bila soal arah arus air, terutama saat hujan besar, tidak dipikirkan. Sangat boleh jadi arah arus, yang limpahannya sempat membuat air tergenang di depan SPBU Pertanian menjelang dini hari 2 Maret 2017 (news.detik.com/berita/d-3435754/banjir-di-spbu-pertanian-sepeda-motor-dialihkan-ke-tol-jorr), membuat turap itu tidak akan bertahan lama dan kembali menyebabkan ancaman longsor.