RAB.com (JAKARTA): Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menemukan kesamaan karakter orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme. Faktor status ekonomi dan pendidikan bukan menjadi patokan utama apakah seseorang akan mudah terpengaruh ajaran radikal. Jika ada beberapa teroris yang tertangkap atau tewas pada kesehariannya adalah pedagang kecil, itu hanya kebetulan saja.
“Orang yang paling gampang dimasuki paham terorisme yakni yang lemah secara kejiwaan. Mereka yang terpapar paham radikal tidak ada korelasinya dengan latar belakang pekerjaan maupun pendidikan. Lebih pada kondisi psikologis mereka,” ujar Tito dalam acara “#KapolriDiRosi” di Kompas TV, Jumat malam (26/5).
Tito mencontohkan Ossama bin Laden, pimpinan Al Qaeda yang punya kekayaan melimpah, tapi bisa terjangkit paham radikal dan terorisme. Selain itu, Azahari Husin, otak bom Bali, bergelar doktor dan merupakan insinyur lulusan Inggris asal Malaysia. Tak hanya itu, Tito mendapati ada pelaku teror di Indonesia yang merupakan lulusan sarjana. “Jadi kisarannya bisa low sampai high class. Psychology is a matter,” kata Tito.
Ia mengatakan, berdasarkan penelitian, mahasiswa sains lebih rentan terpapar ajaran terorisme dibandingkan mahasiswa ilmu sosial. Mereka yang terbiasa menyendiri seperti di lab lebih rentan daripada mahasiswa yang lebih banyak berinteraksi dengan orang. Tito menuturkan biasanya rekrutmen dilakukan melalui tatap muka seperti pertemuan suatu kelompok maupun melalui media sosial yang kini berkembang pesat.
Orang-orang yang direkrut, kata dia, cenderung submisif, mudah menerima sesuatu, tidak kritis, dan pendiam. Terkait karakteristik ini, Tito mencontohkan pelaku pengeboman di Kedutaan Besar Australia. Anggotanya direkrut lewat kelompok pengajian, kemudian perlahan-lahan disusupi dengan ideologi radikal. Yang dipilih adalah Hery Golun yang secara intelektual kurang, pendiam, tidak banyak bertanya, dan penurut.
Ternyata, tidak semua orang dalam kelompok itu menelan mentah-mentah ajaran tersebut. Saat polisi bertanya pada si perekrut, mengapa hanya segelintir orang di pengajian itu yang diajak menjadi pengebom bunuh diri, “Katanya: ‘Cerewet, Pak, nanyanya banyak sekali. Tidak masuk kriteria yang kami cari’. Yang masuk kriteria itu yang mudah tunduk, menurut, hanya perlu didoktrin sedikit, disuruh bawa bom dan meledakkan diri, oke,” kata Tito.
Profil berbeda
Jika melihat pelaku bom bunuh diri di Manchester, Salman Abedi, ada sedikit perbedaan karakteristik dibanding pelaku bom bunuh diri di Indonesia. Salman, seperti dilansir The Independent, Kamis, (25/5), pernah menyukai pesta, menenggak minuman beralkohol, dan memakai narkoba. Pendeknya, pria 22 tahun itu dikenal sebagai anak gaul yang bahkan terlibat dengan kelompok kriminal setempat sebelum berubah menjadi sangat saleh.
“Dia pria yang sangat menyenangkan, tapi hal ini berubah sejak ia pergi ke Libya pada 2011. Sejak itu, ia menjadi sangat saleh. Saya tak pernah bertemu dengannya lagi sejak 2012,” kata kawan Salman kepada The Manchester Evening News. Perubahan serupa juga terjadi pada pelaku serangan teror di Paris dan Brussels. Para pelaku yang sejak awal merupakan pelaku kriminal menjadi sasaran empuk rekrutmen kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dalam melakukan serangan teror di negara masing-masing.
Laporan lembaga International Centre for the Study of Radicalisation (ICSR) menyatakan lebih dari separuh pelaku teror di Eropa merupakan pelaku kriminal sebelum bergabung dengan ISIS. “Para pelaku kriminal sudah terbiasa melakukan kekerasan. Jadi, saat berubah menjadi ekstremis atas nama agama, itu tidaklah sulit bagi mereka,” ujar Profesor Peter Neumann, Direktur ICSR, di King’s College London.
Radikalisasi dalam diri Salman menyebabkan orang tuanya, menurut sejumlah laporan media, menahan paspornya agar tidak terjerumus dalam tindakan teror. Namun upaya mereka sia-sia. Pada Senin malam waktu setempat, Salman meledakkan dirinya di dekat loket penjualan tiket konser Ariana Grande di Manchester Arena. Dalam teror bom Manchester itu, Salman tewas bersama 22 orang lain dan melukai 59 lainnya.
Keluarga Salman yang mencari suaka di Inggris kembali ke kampung halamannya di Libya setelah rezim Qadhafy tumbang sekitar empat tahun lalu. Salman dan kakaknya, Ismail, tetap tinggal di Inggris, tapi kerap menengok keluarga mereka di Libya. Salman baru saja kembali dari Libya setelah menghabiskan tiga pekan di negara itu sebelum melakukan serangan di Manchester.
Polisi juga berjihad
Melengkapi penjelasannya, Tito menganggap agama mana pun tidak mengajarkan kekerasan, perang, dan saling membunuh. Menurut dia, kelompok teroris telah mendapatkan asupan ilmu agama yang salah dan mempersepsikan ajaran agama secara menyimpang. “Saya yakini mereka kelompok kecil yang me-miss interpretasikan, meyakini ajaran agama secara tidak tepat,” ujar Tito dalam acara yang sama.
Kapolri yang membatalkan kunjungan ke Turki dan Arab Saudi karena bom Kampung Melayu, mengatakan bahwa kemungkinan pelakunya mengusung tauhid wal jihad berideologi takfiri, yang konsep utamanya adalah tauhid, yaitu segala sesuatu harus berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Paham ini, sebut Tito, menyebabkan konsep pemikiran bahwa mereka yang tidak sesuai dan tidak berasal dari Tuhan, dianggap haram atau kafir.
Mereka, lanjutnya, menentang demokrasi Pancasila karena dianggap kafir atau kufur. Sehingga bagi penganut ideologi ini, pendukung negara seperti tentara dan Polri dianggap thogut (setan). “Kemudian bagi mereka yang tidak satu aliran adalah kafir,” tutur Tito menambahkan oleh para penganut paham ini ada dua jenis kafir yaitu kafir harbi yaitu kafir yang dianggap memusuhi dan menyerang dan kafir dzimi yang tidak menyerang tapi harus tunduk kepada mereka. “Nah, Polri bagi mereka adalah kafir harbi.”
Sedangkan makna jihad yang menjadi dasar tindakannya, kata Tito, oleh para teroris telah diartikan sebagai perang dan membunuh. Padahal, dalam versi lain, jihad artinya melakukan dengan bersungguh-sungguh. Jika merujuk pada arti sebenarnya, kata Tito, maka polisi juga berjihad melindungi manusia. “Mereka justru yang membajak ajaran tertentu dan ayat tertentu demi kepentingan sesuai ideologi sendiri yang diyakini,” kata mantan Kepala Densus 88 Antiteror dan Kepala Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) ini.
Tentang teroris kerap dikaitkan dengan agama Islam, Tito menyebut itu hanya kebetulan yang terjadi di Indonesia. Menurut dia, teroris tak mengenal agama. Ia menyebut kasus pengeboman di Oklahoma oleh pria beragama Kristen, kemudian kasus di Myanmar oleh umat Buddha, dan di Irlandia Utara oleh kaum Kristen Protestan. “Kita tidak lihat siapa dia, hanya lihat persamaan di muka hukum. Pelanggaran terorsime harus kita tangani tanpa melihat agama pelakunya,” kata Tito.