RAB.com (JAKARTA): Sukses pertama kali percobaan menumbuhkan embryo babi bersel manusia memberi harapan baru untuk dunia medis. Embryo babi yang mengandung 0,001 persen sel manusia itu disambut gembira para ilmuwan dalam bidang genetika, kedokteran dan rekayasa sel punca (stem cell).
“Ini pertama kalinya sel manusia tampak tumbuh dalam embryo hewan berukuran besar,” kata Juan Carlos Izpisua Belmonte dari Salk Institute seperti dikutip BBC pekan lalu. “Namun riset menunjukkan proses pembuatan embryo campuran itu sangat tidak efisien karena dari 2.075 yang dicangkokkan hanya 186 yang bisa berkembang hingga 28 hari.”
Soal inefisiensi ini, Belmonte mengatakan bahwa hal itu terkait evolusi babi dan manusia yang terpaut jauh. Pertumbuhan janin babi dan manusia, katanya, juga berbeda jauh karena babi hanya butuh empat bulan hingga menjadi bayi, sedangkan manusia perlu waktu sekitar sembilan bulan sampai menjadi bayi.
“Ibaratnya seperti jalan bebas hambatan yang mana satu mobil bergerak lebih cepat daripada yang lain sehingga ada kemungkinan terjadi kecelakaan,” kata Belmonte menambahkan bahwa meskipun begitu sel-sel manusia terlihat berfungsi dan berpotensi berkembang dengan baik setelah diamati selama sebulan.
Jun Wu, penulis utama laporan penelitian ini di Jurnal Cells mengatakan: “Mendapatkan efisiensi 0,1 hingga 1 persen saja sebenarnya cukup. Bahkan hanya dalam perkembangan awal yang 28 hari saja sudah ada ribuan sel manusia yang terkandung pada miliaran sel di embryo babi. “Akan sangat berarti dan berguna untuk mengujinya.”
Belmonte yang memimpin dalam projek ini memaparkan bahwa embryo campuran babi dan manusia itu dibuat dengan teknik transplantasi sel punca. Sel punca manusia. yaitu sel berpotensi tinggi yang akan berkembang menjadi bermacam jaringan, dicangkokkan ke dalam embryo babi. Embryo itu lalu ditransplantasikan ke dalam kandungan babi dan dibiarkan tumbuh selama sebulan sebelum digugurkan.
Ada banyak potensi saat sel manusia bisa dikembangkan di tubuh hewan. Pertama, manusia bisa mempelajari cara pengobatan suatu penyakit dengan lebih baik. Jika babi mempunyai organ hati mirip manusia, maka uji efektivitas obat untuk mengobati suatu penyakit bisa lebih akurat.
Potensi lainnya manusia bisa mempelajari pertumbuhan dan perkembangan embryo secara lebih baik sehingga menambah pemahaman terkait abnormalitas pada janin. Yang lebih rumit, dengan teknik ini bisa mengembangkan organ tertentu dalam tubuh hewan. Dari organ hati, ginjal, atau pankreas untuk tujuan donor atau cadangan bagi yang membutuhkan.
Hal ini mengingat kebutuhan organ donor kini cukup tinggi. Setiap 10 menit, satu orang membutuhkan organ donor untuk kelangsungan hidupnya. Sementara setiap hari skurangnya 22 orang meninggal karena tidak mendapatkan organ donor yang dibutuhkan.
Namun untuk memanfaatkan dan merealisasikan potensi itu terdapat sejumlah tantangan misalnya bagaimana cara meningkatkan efisiensinya. Selain itu bagaimana mencegah sel punca manusia masuk ke area otak embryo yang memungkinkan babi punya sejumlah karakter dan kemampuan otak manusia.
“Sejauh ini kami tak melihat ada sel manusia di area otak babi. Tapi kami juga tak mungkin meniadakan kemungkinan itu,” kata Belmonte menjawab peringatan sejumlah ilmuwan lain yang menggarisbawahi tantangan etika dan dampak tak terduga dari riset kontroversialnya.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu (25/1) mengungkap keberhasilan serupa pada tikus. Genom tikus di-edit sehingga kehilangan gen yang bertugas membentuk pankreas. Sel punca dari hewan lain, tikus putih, lalu ditransplantasikan pada embrio tikus itu.
Embrio pun berkembang dengan pankreas dari tikus putih. Pankreas itu lantas dicangkokkan pada tikus putih untuk mengobati penyakit diabetes. Di masa depan, diharapkan embrio campuran babi dan manusia itu diharapkan bisa menghasilkan hal yang sama.
.