Kebhinekaan adalah Kenyataan di Nusantara Sejak Dulu

Secara genetik maupun kebudayaan penghuni nusantara memang sangat beragam.
Secara genetik maupun kebudayaan penghuni nusantara memang sangat beragam sejak lama.

RAB.com (JAKARTA):Kebhinekaan menjadi fakta dan bawaan sejak dulu kala di nusantara, sehingga bila ada orang yang mengklaim identitasnya sebagai paling murni dan tak tercemari baik secara genetika maupun kebudayaan itu pasti mengingkari kenyataan. Salah satu solusi untuk mengatasi perpecahan yang mengancanm NKRI adalah pendidikan wawasan kebangsaan sejak dini.

“Kita taken for granted, sok yakin, soal wawasan kebangsaan ini. Akibatnya kita begitu mudah terpecah belah dengan berbagai isu tentang perbedaan,” kata Dr. Kartini Sjahrir, antropolog dan praktisi budaya yang menjadi pembicara dalam seminar Kebhinekaan, warisan budaya nusantara dalam tantangan masa kini dan mendatang di Balai Agung, Balaikota Jakarta, 16 Mei.

Hadir dalam seminar yang membahas tentang bagaimana kembali menghormati kebhinekaan setelah masa pemilihan kepala daerah lalu sempat terkoyak itu dua pembicara lain. Prof. dr. Herawati Supolo S, Ph.D., yang memaparkan hasil penelitian genetika tentang asal-usul orang Indonesia dan Prof. Ris. Dr. Truman Simanjuntak, arkeolog yang memberikan gambaran keberagaman budaya Indonesia masa lampau.

Kartini dalam paparannya memberi sejumlah contoh terkait pakaian, bangunan, maupun adat istiadat yang ternyata tidak relevan dengan agama atau suku seseorang. Para peserta diminta menebak beberapa gambar orang berkerudung apakah dia wanita Muslim, wanita Katholik, Kristen Koptik, atau wanita Yahudi. Ada juga gambar orang memakai baju daerah dan perhiasan kepala serta adat adu kerbau.

“Ternyata kerudung tidak otomatis identik dengan agama. Wanita dari agama apapun, dari Muslim, Kristen, Yahudi, sampai komunitas Sikh di India, lazim juga memakai kerudung. Begitu pula dengan tradisi adu kerbau dan dekorasi kawinan di Minang dan China Selatan yang sangat mirip,” simpul Kartini menambahkan banyak sekali kesamaan antara satu bangsa dengan bangsa-bangsa lain didunia ini.

Karena itu, lanjutnya, jelas tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa bangsa lainlah yang meniru orang Minang. Klaim semacam ini, tutur dia, menunjukkan betapa orang yang mengklaim seperti itu justru tidak tahu sejarah dan hanya menunjukkan kepicikannya. “Karena itu jangan sampai ada kejadian lagi warna atau gaya berpakaian diidentikkan dengan satu golongan pada agama tertentu.”

Genetikanya campuran

Sementara itu, Herawati yang juga peneliti Lembaga Biologi Molekular Eijkman, mengatakan fakta perbandingan corak genetik berbagai suku di nusantara memperlihatkan adanya gradasi dari barat ke timur.  Dalam risetnya, Herawati menemukan bahwa orang di timur Indonesia lebih dekat dengan orang-orang di kawasan Samudera Pasifik, sedangkan di barat Indonesia, lebih dekat ke kawasan Asia Tenggara, dan orang Nias dan Mentawai lebih dekat dengan suku asli Taiwan.

Sejarah pendudukan 13 pulau besar di Indonesia, kata dia dalam presentasinya, meliputi waktu kedatangan, pola migrasi hingga relasi kawin mawin dengan menganalisa data genetik DNA serta membandingkannya dengan data non-genetik seperti linguistik, etnografi, arkeologi dan sejarah. Hasil riset dengan sampel analisa DNA 3.000-an orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas ini sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.

Herawati  menunjukkan secara riset genetik, termasuk kolaborasi dengan peneliti di dunia, asal-usul manusia di Bumi diketahui berasal dari Afrika, yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, melalui daratan China hingga menuju Australia. “Pertanyaannya, siapa sih yang bilang ‘Oh oke, saya ini orang Indonesia asli lo’. Siapa? Penelitian di 80 komunitas di Indonesia dengan tiga pendekatan tadi, kelihatan sekali pada dasarnya kita itu latar belakang genetiknya itu campuran,” tegasnya.

Campuran itu, lanjut dia, sifatnya gradien atau tidak rata semua di seluruh negeri ini. Tapi dari barat ke timur ada penurunan, jadi paling tinggi itu Austroasiatik, itu asalnya dari China daratan, dia turun saat masih ada Paparan Sunda atau Sumatera, Jawa, Kalimantan dengan Semenanjung Malaya masih menyatu. “Orang-orang itu turun masuk ke nusantara, membawa genetiknya, kawin mawin, dengan sendirinya kita memiliki (genetikanya).”

Hal-hal menarik lain seiring pengambilan sampel genetik warga di berbagai pelosok nusantara, kata Herawati, juga terlihat nyata adanya silang budaya pada adat istiadat dan bentuk bangunan rumah. Begitu pula penelitian tentang evolusi motif tenun yang menunjukkan adanya simbol atau bentuk tertentu yang ada di berbagai lokasi, serta keragaman bahasa di kepulauan nusantara dan sebaran penutur Bahasa Austronesia.

Truman menambahkan bahwa dari berbagai bukti arkeologi, Indonesia menjadi pertemuan berbagai macam orang dan budaya. Dia sepakat tentang adanya fakta bahwa pada dasarnya kita semua berasal dari Afrika, dengan variasi genetika. Atau dalam cerita sejarah yang lebih pendek, orang Indonesia berasal dari Yunnan (di Cina) kira-kira 4.300 tahun yang lalu.

“Arkeolog ingin mengkampanyekan pentingnya menjaga kebhinekaan dengan mengajak masyarakat untuk memahami asal mula dan warisan budaya bangsa Indonesia. Berbagai keragaman itu juga menunjukkan wujud keharmonisan budaya. Berbagai pengaruh dan perubahan budaya seiring datang dan perginya manusia di Indonesia memberikan hasil interaksi berbagai budaya dunia.”

iaai

Berpotensi konflik

Dalam seminar Merajut kebhinekaan itu, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jakarta, Bogor Depok, Tangerang, Bekasi (IAAI Komda Jabodetabek) yang menjadi penyelenggara dalam rilisnya menyatakan bahwa kata bhineka paling sering disebut dalam pembicaraan tentang dasar negara. Memahami dan bangga akan budaya bangsa dan daerah asal kita, tutur moderator Dr. Wiwin Djuwita S Ramelan, adalah hal yang sangat baik.

“Akan tetapi kebanggaan tanpa pengetahuan dan pemahaman tentang keragaman bangsa lain atau daerah lain adalah kekurangan yang bisa menyebabkan kita menjadi kurang bijak atau bahkan menjadi picik. Kebanggaan akan budaya sendiri tanpa peduli dan menghargai budaya orang lain akan menjadi potensi konflik. Oleh karena itu sangat penting bagi masyarakat untuk belajar, membuka mata, hati dan pikiran untuk memahami keragaman yang ada disekitar kita, di daerah kita, di negara kita, dan di dunia.”

Pemahaman itu akan membuat kita menjadi lebih mengerti keagungan Tuhan dan keragaman ciptaan-Nya. Pemahaman itu akan membuat kita hidup lebih tenang, ikhlas, damai dan bahagia. Apa yang terjadi akhir-akhir ini seiring dengan penyelenggaraan pilkada di beberapa wilayah di negara kita, utamanya di ibukota Jakarta mengusik kesadaran sebagian masyarakat akan hal yang mendasar sebagai bangsa Indonesia, yaitu “akankah kita terpecah-belah oleh perbedaan sejenak?”

Perbedaan sejenak karena berkenaan dengan pilihan politik yang dapat dikatakan seperti kutu loncat, berjangka sangat pendek, atau tidak terlestarikan, sekarang kuning mungkin lima tahun lagi menjadi biru atau merah. Itu yang seringkali dikatakan para ahli ketika kita mulai berkenalan dengan “demokrasi” dan itu dianggap hal biasa. Namun, dalam perkembangan “berdemokrasi” itu terjadi perubahan perilaku dan budaya yang bukan Indonesia.

Perbedaan sejenak itu mungkin akan berubah menjadi perbedaan hakiki. Kebhinekaan (keberagaman) suku, adat, ras, dan agama (SARA) yang menjadi identitas bangsa Indonesia “dipreteli”, digolong-golongkan, dan dikembalikan ke asal muasalnya. Perbedaan yang semula berdampingan menjadi berhadapan, dan yang tadinya melengkapi menjadi menegasi, semisal jarang terdengar “kita’ tapi berubah menjadi “aku atau kamu”.

Sebutan mayoritas versus minoritas, asli/pribumi versus pendatang/non-pribumi, wong cilik versus pemodal, dan sebutan lainnya yang konotatif, menjadi topik bahasan di diskusi, seminar, kampanye, acara televisi, media sosial, warung kopi, dan lain-lainnya. Mungkin, kondisi di atas terjadi karena konsep-konsep seperti toleransi, kebinekaan, identitas, dan pluralisme diartikan secara dangkai dan sederhana.

Solusinya pendidikan

Parahnya, pengertian yang benar atas konsep-konsep itu tidak lagi dicari dalam literatur, tetapi dicerna melalui tradisi lisan atau obrolan di media sosial yang bukan berasal dari ahlinya dan juga belum diuji kebenarannya. Akibatnya, toleransi yang dulu selalu dianggap sebagai salah satu identitas kita kini ditanggapi sebagai keberpihakan kepada yang berseberangan pemikiran atau keyakinan. Bila hal tersebut terus menggerogoti kebudayaan dan kebangsaan kita.

Meskipun sudah cukup banyak seminar, diskusi, atau ceramah sebagai bentuk keprihatinan, sebut rilis itu, tidak ada salahnya secara berkesinambungan mengingatkan masyarakat agar tidak “kebablasan” dalam perilaku budaya baru tersebut. Masyarakat memerlukan pemahaman yang benar atas konsep-konsep yang menjadi identitas budaya dan bangsa kita.

Ada yang perlu disampaikan kepada masyarakat tentang sejarah keberagaman suku, adat, ras, dan agama yang berlangsung di nusantara sejak masa prasejarah sangat lampau hingga kini. Kebhinekaan itulah yang justru menjadikan kita  bersatu dalam sebuah negara. Perlu disampaikan pula bahwa dalam sudut pandang budaya dan genetika tidak ada lagi sebutan “asli”.

Perjalanan keduanya dalam rentang waktu jutaan tahun telah menghasilkan manusia-manusia dan budaya-budaya campur yang tidak akan berhenti sepanjang masa. Bila kebhinekaan itu kita sepakati kembali sebagai identitas kita maka kebhinekaan harus menjadi warisan budaya yang secara terus menerus kita wariskan dalam mempersatukan Nusantara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Sudah saatnya para arkeolog bersama ahli antropologi dan ahli genetika memberikan pencerahan atas kesimpangsiuran informasi asal usul dan nilai-nilai budaya yang mudah dijadikan isu politik pemecah belah kebhinekaan. Tujuannya tak hanya terbatas mengomunikasikan nilai-nilai kemasalaluan tetapi juga memberikan pandangan terhadap kenyataan sekarang dan tantangan di masa depan. Hasilnya diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi masyarakat yang sedang menata kerukunan dalam berdemokrasi.”

Menurut Kartini, solusi masalah kebangsaan itu adalah upaya pemberdayaan terutama oleh pemerintah yang harus dilakukan terus menerus. “Termasuk pada anggota legislatif yang justru terkesan menjadi provokator perpecahan di antara anak bangsa,” katanya menambahkan bahwa pemberdayaan terutama sejak pendidikan dasar di sekolah dan juga roadshow untuk menyebarkan pengetahuan bahwa gen kita dan berbagai artefak budaya, termasuk bahasa, yang sangat bhineka bahkan mungkin sejak jutaan tahun silam.