RAB.com (JAKARTA): Komite Dekolonisasi PBB atau C24 mengatakan tidak dapat menerima sebuah petisi yang ditandatangani sekitar 1,8 juta orang Papua Barat yang meminta diadakan referendum kemerdekaan dari Indonesia. Komite PBB ini menilai isu Papua Barat berada di luar mandatnya yang yang hanya mencakup 17 negara.
“Jumlah negara itulah yang diidentifikasi oleh PBB sebagai ‘wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri’. Saya tidak bisa menerima dokumen petisi yang dianggap ilegal itu,” kata Ketua Komite dan Perwakilan Venezuela untuk PBB, Rafael Ramirez, akhir Agustus lalu
“Saya ketua C24 dan isu Papua Barat bukan urusan C24. Kami hanya bekerja di negara bagian yang merupakan ada di daftar wilayah non-pemerintahan sendiri. Daftar itu dikeluarkan oleh majelis umum. Salah satu prinsip gerakan kita adalah mempertahankan kedaulatan dan integritas penuh dari wilayah anggota kita. Kami sebagai C24 tidak akan melakukan apapun melawan Indonesia ,” kata Ramirez.
Petisi itu, yang dipresentasikan pemimpin gerakan kemerdekaan Benny Wenda pada hari Selasa, meminta PBB menunjuk seorang perwakilan khusus untuk menyelidiki berbagai pelanggaran dan mengembalikan Papua Barat ke dalam agenda dekolonisasi. Isu Papua Barat sebelumnya berada dalam agenda komite ini saat bekas koloni Belanda ini dikenal dengan sebutan Netherlands New Guinea.
Tapi status itu dihapuskan pada 1963 ketika provinsi itu dianeksasi oleh Indonesia dan dinamai Irian Jaya. Ramirez juga menyebutkan bahwa ada upaya manipulasi untuk menggunakan komite C24 ini untuk tujuan politis tertentu. “Sebagai ketua C24, tidak ada dokumen apapun. Tidak ada,” kata dia soal petisi Papua Barat ini.
Pemerintah membangun Papua
Ramirez juga menegaskan bahwa dia mendukung posisi Indonesia terkait Papua Barat sebagai bagian dari teritorinya. “Komisi khusus dalam isu dekolonisasi belum menerima atau dapat menerima permintaan atau dokumen apapun terkait isu Papua Barat, yang merupakan wilayah integral dari Republik Indonesia,” kata dia.
Dalam sebuah pernyataan, perwakilan PBB di Indonesia, Triansyah Djani, yang duduk di komite ini, menyebut petisi Wenda sebagai tipuan dan propaganda separatis. Benny Wenda, yang berlindung di Inggris, mengatakan penolakan petisi ini oleh Indonesia menunjukkan pengabaian terhadap upaya menentukan nasib sendiri oleh Papua.
“Penyampaian petisi ini ke PBB adalah upaya mengingatkan lembaga itu mengenai warisan kegagalannya untuk mengawasi proses jajak pendapat pada 1969 (di Papua) dan tugasnya untuk menyelesaikan proses dekolonisasi,” kata Wenda seperti dikutip laman Guardian.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto membenarkan adanya petisi yang menyerukan pemungutan suara untuk penentuan nasib wilayah Papua. “Iya memang ada. Dari kelompok separatis yang bergerak di luar mencoba untuk menyampaikan petisi itu kepada ketua komisi 24, soal dekolonisasi,” ucap Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (29/9).
Menurut dia, petisi tersebut tidak sah karena PBB telah menyatakan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Wiranto mengatakan upaya memerdekakan Papua akan terus berlangsung, baik dari dalam maupun dari luar. “Papua telah menjadi bagian sah dari kedaulatan Indonesia melalui proses referendum,” ujarnya menambahkan berbeda dengan Timor Timur, Papua dinilai sebagai suatu wilayah yang sah setelah melalui referendum.
Wiranto mengatakan pemerintah saat ini sedang memberikan perhatian lebih untuk proses pembangunan Papua. Perencanaan pembangunan tersebut melalui Bappenas yang diwujudkan secara holistik meliputi bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, pertanian, kebutuhan listrik, dan transportasi. “Kalau keinginan-keinginan merdeka itu ada, kami akui tetapi pemerintah sekarang sungguh-sungguh untuk membangun Papua,” ucapnya.