RAB.com (JAKARTA): Di tengah rangkaian serangan balik bertubi-tubi dari koruptor dan para pendukungnya, terutama lewat Pansus Angket KPK yang terkait erat dengan pengungkapan kasus megakorupsi e-KTP, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan apresiasi dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Dalam penelitian yang dilakukan UNCAC, KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi mendapatkan predikat best practices. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif Laode yang mengapresiasi hasil penelitian itu pun berharap Undang-Undang (UU) KPK sebagai dasar hukum KPK dalam bertindak tidak diubah.
“Kelembagaan KPK itu oleh review-nya dianggap best practices di dunia. Jadi yang diubah jangan Undang-Undang KPK, tapi Undang-Undang Tipikornya. Jadi mana yang gatal, mana yang digaruk, ini beda,” kata Laode dalam jumpa pers pembukaan Country Visit Review Implementasi UNCAC Putaran II bersama delegasi UNCAC di Hotel Four Points, Jakarta, Senin (9/10).
Laode menyinggung soal langkah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang beberapa kali mencoba melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 30/2002 tentang KPK. Upaya revisi UU KPK yang cenderung memangkas kewenangan KPK beberapa kali mencuat, namun akhirnya batal karena mendapat penolakan publik.
“Kalau internasional memuji kita best practices, itu lembaga KPK-nya. Tapi yang mau diubah (undang-undang) KPK-nya malah. Itu yang salah menurut saya,” ujar Laode. Pendukung koruptor berupaya melegalkan pemangkasan wewenang KPK. Namun tak kurang Menkum HAM menilai revisi UU KPK hanya wacana individu di DPR.
DPR menghambat
Di sisi lain, Laode menyebut adanya 32 rekomendasi yang disampaikan UNCAC dari peninjauan pertamanya pada 2010-2015 untuk memperbaiki sistem pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari 32 rekomendasi, 25 rekomendasi diantaranya tentang peraturan dan perundang-undangan khususnya tentang pemidanaan dan penegakan hukum serta kerja sama internasional.
Rekomendasi antara lain yakni perbaikan Undang-Undang Tipikor, KUHP dan KUHAP. Namun, rekomendasi ini justru tidak dijalankan oleh pemerintah dan DPR. “Drafnya sudah ada di DPR. Kemenkum HAM sudah masukan draft-nya ke DPR. Cuma enggak masuk prolegnas. Jadi itu enggak dijadikan prioritas, padahal itu seharusnya prioritas,” ucap Laode.
Tak semua rekomendasi tersebut mendapat tindak lanjut. Hingga saat ini, kata Laode, KPK telah melaksanakan delapan rekomendasi yang menitikberatkan pada aspek regulasi seperti UU Tipikor, KUHP dan KUHAP. “Namun, rekomendasi terkait regulasi itu hingga kini belum ditindaklanjuti seluruhnya. KPK melihat kendalanya justru datang dari DPR,” tandasnya.
Menurut Laode, kerja sama itu tidak akan terlaksana dengan baik jika hanya dikerjakan oleh KPK dan Kementerian Luar Negeri. Sebab, yang paling penting bagi Indonesia saat ini adalah memberantas korupsi sesuai dengan ketentuan UNCAC. “Kami berharap rekomendasinya jelas, dan berdasarkan rekomendasi itu, kami sodorkan kepada pemerintah.”
Sementara itu, Deputi Informasi dan Data KPK, Hari Budiarto membenarkan 32 rekomendasi itu. “Sembilan tentang kriminalisasi tipikor, dua tentang sistem pemidanaan dalam KUHAP, satu tentang perampasan aset, dua tentang ekstradisi, sembilan rekomendasi soal bantuan timbal balik masalah pidana, dua rekomendasi soal peraturan lainnya, serta tujuh rekomendasi terkait kajian, evaluasi dan kegiatan lainnya,” papar Hari.
Tata pemerintahan yang baik
Indonesia adalah satu dari 128 negara di dunia yang telah meratifikasi UNCAC. UNCAC merupakan Konvensi PBB Antikorupsi yang telah diratifikasi dengan UU RI No.7/2006. Dengan ratifikasi ini Indonesia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan pasal-pasal UNCAC dan untuk memastikannya dilaksanakan mekanisme review dalam dua putaran yang masing-masing berdurasi lima tahun.
UNCAC meninjau kinerja pencegahan, pemulihan aset, pencegahan pencucian uang, kerja sama internasional untuk tujuan perampasan, unit intelijen keuangan dan deteksi transfer hasil kejahatan yang dilakukan KPK. “KPK mengisi assessment dengan melibatkan 25 kementerian dan lembaga,” kata Laode.
Dia menambahkan para peninjau secara teknis akan berdialog dengan pemangku kepentingan dari instansi-instansi terkait. Hal itu dilakukan untuk mengklarifikasi jawaban serta menggali informasi tambahan. KPK dan Kementerian Luar Negeri menjadi tuan rumah dalam review implementasi UNCAC Putaran II. Kali ini yang menjadi reviewer untuk Indonesia adalah Yaman dan Ghana yang terpilih dengan cara diundi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang mengatakan proses review UNCAC ini tak semata sebuah pengguguran kewajiban. “Ini momentum strategis untuk menambal celah undang-undang dan aturan yang mungkin masih bisa dieksploitasi oleh para pelaku korupsi,” kata Saut dalam kesempatan yang sama.
Menurut Saut, Indonesia harus menunjukkan komitmennya memberantas korupsi dalam agenda country visit ini. Sehingga, kata dia, bisa menghasilkan rekomendasi yang realistis untuk dijalankan. Pelaksanaan rekomendasi ini, kata dia, bisa memperkuat pemberantasan korupsi yang bermanfaat untuk menjalankan tata pemerintahan yang baik dan menegakkan supremasi hukum.
Seperti medical check up
Director Anti-Corruption Commision of Human Rights and Administrative Justice Ghana, Charles Adombire Ayamdoo mengatakan review bukan untuk mencari-cari kesalahan negara yang di-review. “Ini adalah mekanisme untuk bertukar info dan berdiskusi tentang pengalaman dan hambatan yang dihadapi masing-masing negara,” kata Ayamdoo.
Crime Prevention and Criminal Justice Officer dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Tanja Santucci mengatakan, review oleh negara lain akan membantu implementasi dengan pengembangan pengetahuan Indonesia yang selama ini berpartisipasi sangat aktif.
“Cakupan UNCAC sangat luas, maka sangat penting untuk negara-negara yang meratifikasi berdiskusi tentang masalah dan hambatan yang dihadapi,” kata dia. Indonesia, telah di-review dua kali: pertama dilakukan oleh Inggris dan Uzbekistan tahun 2010-2015. Bidang yang dibahas Bab III tentang Pemidanaan dan Penegakan Hukum serta Bab IV tentang Kerjasama Internasional.
Ruang lingkup yang akan dibahas dalam review Putaran II ini adalah Bab II tentang Pencegahan dan Bab V tentang Pemulihan Aset. Selain di-review, Indonesia telah tiga kali menjadi negara reviewer. Indonesia telah me-review Iran (2013), Kyrgyztan (2015), dan Haiti (2015).
Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard mengatakan review implementasi kesepakatan internasional ini seperti medical check up. Sehingga jika ditemukan masalah, bisa segera dicarikan solusinya. “Melawan korupsi kan ibarat lari jarak jauh, bukan hanya soal fisik tapi harus ada kesiapan mental dan mekanismenya,” kata dia.