RAB.com (JAKARTA): Layanan ilegal gigi terabaikan, kanker mengancam. Demikian isi satu berita di satu koran terkemuka yang menceritakan betapa layanan kesehatah gigi ilegal dari selain dokter gigi bahkan bisa memicu kanker.
Sekilas memang agak kurang jelas apa hubungan praktek perawatan gigi non-dokter gigi bisa menimbulkan dampak yang mengerikan itu. Tapi setelah disimak ternyata penjelasannya cukup masuk akal mengapa pelayanan yang sering di luar kompetensi si “ahli atau tukang gigi” bisa memicu kanker.
“Layanan tak sesuai kompetensi dan standar ada dampaknya. Contohnya pemasangan kawat gigi tanpa kompetensi rentan menimbulkan infeksi pada gusi dan bakteri dapat menyebar ke organ tubuh lain lewat pembuluh darah,” kata Ketua Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia Farichah Hanum (PB PDGI) dikutip Kompas, Minggu (22/1).
Dokter gigi Rifqie Al Haris, pengelola akun instagram @korbantukanggigi, menambahkan korban layanan ilegal kerap tak sadar saat kesehatannya terganggu. Setelah diperiksa dokter gigi pasien baru tahu gusinya sudah meradang dan rusak.
Hanum mengatakan pemerintah dinilai belum memedulikan marakya layanan gigi ilegal, antara lain layanan pemasangan gigi tiruan dan kawat gigi. “Padahal itu merugikan pasien dan berkontribusi pada bertambahknya kasus kanker,” kata Hanum pada Lokakarya “Perlindungan Konsumen dari Praktek Ilegal dalam Pelayanan Kesehatan”.
Undang-Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah (pemda), dan masyarakat mengawasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Aturan itu untuk memastikan layanan yang bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non-diskriminatif.
“Namun saat teman-teman dokter di daerah melaporkan kasus ke pemda, pemda mengatakan tak ada dana atau tak ada peraturan daerah,” ujar Hanum memaparkan pelanggaran soal layanan kesehatan gigi yang tak sesuai kompetensi atau standar layanan antara lain oknum yang menjajakan jasa pemasangan kawat gigi (behel), pemasangan gigi palsu, dan pemutihan gigi.
Perawatan kesehatan gigi memang sering terabaikan karena banyak orang tak memeriksakan secara rutin organ tubuh yang merupakan bagian penting sistem pencernaan untuk menghancurkan makanan. Mereka biasanya baru datang ke dokter gigi saat rasa sakit sudah tak tertahankan. Itupun dengan keengganan luar biasa karena beranggapan bahwa biayanya pasti mahal.
Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah tampaknya perlu usaha ekstra. Namun upaya ini mestinya cukup bernilai untuk dilakukan secara konsisten mengingat risiko yang mesti dihadapi: bahwa gigi dan jaringan gusi yang menopangnya berada di daerah kepala dan bisa mempengaruhi kinerja organ penting lainnya seperti jantung.