Masukan buat Gubernur Anies soal Banjir di Jatipadang

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau turap tanggul yang jebol di Kali Pulo, Jl Masjid Al Ridwan, Jatipadang, Jaksel. (Meilika Asanti/detikcom)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau turap tanggul yang jebol di Kali Pulo, Jl Masjid Al Ridwan, Jatipadang, Jaksel. (Meilika Asanti/detikcom)

RAB,com (JAKARTA): Wacana tentang bagaimana warga tak perlu dipindah semua untuk mengatasi banjir di kawasan Jatipadang, membuat penulis tergelitik untuk membuat semacam surat terbuka kepada Gubernur Anies. Intinya wacana itu cenderung hanya akan memperpanjang masalah dan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi warga lainnya.

Berdasarkan pengamatan penulis yang sudah tinggal hampir 14 tahun di Jatipadang, masalah sungai, kali, atau tali air yang semakin kronis ini memang perlu ketegasan untuk bisa mendapatkan solusi yang permanen. Soal ketidakadilan tentu saja terkait ulah segelintir orang yang mengokupasi badan kali dan daerah sekitarnya sehingga menimbulkan banjir di tempat lain bahkan turap ambrol.

Kasus kongkretnya genangan yang terjadi di Jl. Simatupang, persis di depan areal pompa bensin sebelah Kompleks Deptan Ragunan pada awal tahun dan minggu lalu. Hal itu sedikit banyak disumbang pengurukan lahan di seberangnya yang akan menjadi TBS Park. Pengurukan dan pembangunan dinding baru di badan kali Sarua itu juga menyebabkan turap ambrol yang mengancam lima rumah. (https://news.detik.com/berita/d-3435754/banjir-di-spbu-pertanian-sepeda-motor-dialihkan-ke-tol-jorr)

Bentang alam  kawasan Jatipadang memang banyak dilintasi sungai kecil dan sedang dengan lebar maksimal sekitar 8 meter serta tinggi rendah dataran yang bervariasi. Dan karena buruknya penataan kota dan penegakan hukum, banyak terjadi lebar sungai menyusut di sepanjang alirannya. Menyempit hingga separuh atau kurang dari seperempatnya dan banyak kasus di atas alirannya sudah berdiri bangunan.

Dari kurun 4-30 tahun

Rumah yang mepet ke sungai, bersisian langsung, atau bahkan sudah memakai badan kali banyak terjadi. Wajar bila tiap kali kebanjiran karena memang menjadi tempat air mengalir khususnya saat meluap: tidak ada tempat yang lebih rendah lagi. Bisa disebut di sekitar masjid Al-Ridwan yang dalam hitungan hari tergenang lagi karena berada di kawasan cekungan dan aliran kali. (ttps://news.detik.com/berita/d-3696726/12-warga-jatipadang-mengungsi-karena-rumahnya-tergenang-kembali)

Kalau ditelusur kenapa para warga bisa sampai membangun rumah dan tinggal di situ pasti ada banyak sejarah kusut kongkalikong suap dan korupsi. Yang jelas telah terjadi pembiaran dari aparat kelurahan tak hanya dalam 20-30 tahun belakangan. Tapi bahkan kurun empat tahun terakhir pun masih kejadian: okupasi bantaran sungai tanpa hak yang jelas melanggar aturan.

Contohnya di kawasan belakang SMK 57 Jatipadang yang begitu bantaran kalinya diturap beton bisa langsung berdiri rumah cukup mentereng di atasnya entah atas izin siapa. Modusnya saat masih berupa tanah pinggir kali biasa sudah mulai dipatok dan jadi tempat timbunan material yang saat itu berkali-kali longsor karena lokasinya yang curam. Padahal lebarnya hanya sekitar 3 meteran.

Khusus lokasi ini bahkan sudah pernah dilaporkan secara saat Gubernur Ahok menggantikan Jokowi. Dan tanggapan dari staf khusus Ahok saat itu hanya “akan dilihat dan ditinjau” entah benar-benar dilakukan atau tidak. Dan terbukti sampai sekarang bangunan tembok cukup mentereng itu masih bertengger di atas turap beton. (lihat link kompasiana)

Turap ambrol di seberang lahan calon TBS Park setelah puingnya yang masuk kali dibersihkan Pasukan Oranye pada Juli 2017.
Turap ambrol di seberang lahan calon TBS Park yang mengancam lima rumah setelah puingnya yang masuk kali dibersihkan Pasukan Oranye pada Juli 2017.

Gubernur perlu tegas

Jadi sekali lagi wacana itu seperti mengingatkan perdebatan pada masa kampanye pemilihan kepala daerah kemarin soal apakah warga yang jelas tinggal bantaran kali, bahkan di atas badan kali, bisa tetap tinggal di situ atau tidak. Logikanya kalau tetap bertahan tidak masuk akal karena itulah satu-satunya jalan air yang mesti pula disediakan ruang cadangan bila meluap dan untuk sarana menjaga fungsinya.

Tapi bila masih berpikir ini itu demi tujuan memenuhi janji kampanye untuk tidak menggusur warga, ya sudah biarkan saja, toh warga yang susah saat musim hujan. Atau kalau mau kompromi (dan jelas melanggar aturan) biarkan saja membangun di atas badan kali/aliran air. Peduli setan bagaimana nanti kali/sungai itu akan dipertahankan fungsinya dan dengan konsekuensi jadi berita setiap kali banjir.

Yang jelas sesuatu yang melanggar hukum akan berdampak buruk bagi semuanya.  Dan di sinilah perlunya Gubernur tegas memberikan solusi sesuai arah kebijakan yang sudah jelas demi kepentingan dan kemaslahatan bersama. Gamblangnya kalau itu memang alami tempatnya air lewat ya harus dibebaskan dari kegiatan warga tanpa perkecualian. Orangnya dipindah ke rumah susun kalau memenuhi syarat.

Satu lagi masukan adalah soal turap kali yang entah kenapa seperti dibiarkan saja tanpa kontrol di berbagai titik. Kondisi bangunannya melapuk dimakan waktu. Mesti diributkan atau ada kejadian fatal seperti ambrol baru diperhatikan. Untuk realisasi perbaikannya perlu waktu bertahun-tahun melalui forum RT-RW-Kelurahan. Bisa jadi karena butuh dana yang agak besar (miliaran).

Mestinya karena itu fasilitas umum yang tak kalah membahayakan akibatnya kalau sampai ambrol, dari aliran kali tersumbat sampai runtuhnya bangunan yang ada di atasnya dan korban jiwa, Pemprov DKI lewat aparatnya memantau kesehatan turap ini. Dan yang lebih penting adalah adanya kebijakan atau mekanisme yang bisa mempercepat bila pembangunan/perbaikan harus segera dilakukan.