RAB.com (JAKARTA): Untuk kesekian kalinya eksploitasi sumberdaya alam menjadi kisah tragis berkepanjangan yang memakan korban. Kali ini satu orang meninggal yang kejadiannya tak terelakkan tepat di bawah sorotan media massa yang meliput aksi menolak operasi pabrik semen di kawasan pegunungan Kendeng. Kini pemerintah pusat pun seperti diharapkan menjadi juri yang adil.
Pengoperasian pabrik semen di kawasan yang meliputi Pati dan Rembang, Jawa Tengah, hari-hari ini mengalami polemik. Petani setempat melakukan berbagai aksi penolakan dan aksinya semakin masif di depan Istana. Semua berawal dari upaya peninjauan kembali (PK) dari petani Kendeng dikabulkan, yakni dalam putusan PK Mahkamah Agung No. 99 PK/TUN/2016 tertanggal 5 Oktober 2016.
Namun Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo justru menerbitkan izin baru untuk PT Semen Indonesia di wilayah Pegunungan Kendeng. Ganjar menandatangani Keputusan Gubernur No. 660.1/6 Tahun 2017 tertanggal 23 Februari 2017 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang.
Ada prinsip otonomi daerah yang menghalangi campur tangan Jokowi ke polemik pabrik semen di pegunungan Kendeng. Kini pemerintah pusat akan mengkaji cermat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang menentukan nasib kawasan Kendeng ke depan. Kajian dilakukan di bawah koordinasi Kepala Staf Kepresidenan dengan melibatkan berbagai instansi, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LH-K), Kementerian ESDM, hingga pemerintah daerah setempat.
Terbitnya izin lingkungan baru membuat Petani Kendeng kembali melakukan aksi mengecor kaki pada Senin (13/3) hingga Senin (20/3). Jumlahnya pun bertambah mencapai 50 orang. Sayangnya, sampai aksi itu berujung pada meninggalnya Patmi, tuntutan petani Kendeng agar tidak ada tindakan apapun yang dilakukan pemerintah untuk mendukung operasi pabrik tidak terpenuhi.
Upaya membela dan meneruskan apa yang sudah dimulai oleh PT Semen Indonesia yang sudah melakukan “investasi” sangat bisa dipahami. Perusahaan induk pabrik semen di Rembang ini konon mencadangkan hingga 5.000 miliar untuk memaksakan pabrik itu beroperasi. Tentu saja sesuatu yang sah dan lazim karena sebagai entitas badan usaha milik negara (BUMN) berupaya mendapat untung.
Sejumlah keanehan
Protes masyarakat atas keberadaan pabrik semen di Pegunungan Kendeng telah berlangsung selama bertahun-tahun. Koran Kompas mencatat, warga Kendeng sudah mengalami kekerasan sistemik sejak tahun 2006. Aktivitas penambangan di kawasan karst, disebut berdampak merusak bagi keberadaan sumber air di bawah pegunungan Kendeng. Para petani di Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan bergantung pada sumber air dari pegunungan itu.
Anehnya pemerintah terkesan sangat lamban dalam mengantisipasi terjadinya kericuhan yang berlarut hingga saat ini. Semua sudah berlangsung sejak lama bahkan hingga pabrik sudah berdiri, tapi masih saja ada warga yang merasa terlanggar haknya. Yang lebih aneh saat pabrik sudah siap beroperasi, ternyata jadi berproduksi atau tidaknya tergantung pada hasil KLHS di pegunungan Kendeng.
Dan dalam soal ini yang juga mengherankan Kementerian LH-K masih menunggu kepastian dari hasil KLHS apakah benar di kawasan tersebut ada sistem sungai bawah tanah seperti lazimnya ada di lingkungan pegunungan kapur. Sangat disayangkan bahwa instansi berwenang tiap kali harus melakukan kajian ulang terkait data penting suatu kawasan yang mestinya sudah terpetakan secara rinci.
Bila KLHS hanya sebatas formalitas sungguh merupakan ihwal yang tambah aneh bahkan berbahaya karena jelas-jelas hanya menantang opini publik yang makin terbentuk bahwa proses beroperasinya pabrik semen itu, terutama perizinannya, bermasalah. Mungkin pemerintah pusat memang sudah siap dengan segala risiko kegaduhan yang akan terjadi untuk menegaskan bahwa masyarakat sebaiknya percaya saja dengan keputusan yang telah diambil.
Anggapan ini secara implisit mengatakan bahwa wilayah yang diberikan izinnya sudah dieksploitasi sebelumnya oleh usaha penambangan lain. Bahwa di daerah itu sebenarnya lingkungannya sudah rusak sehingga secara tidak langsung juga mengatakan sah saja untuk dirusak saja sekalian demi keuntungan bersama. Dan yang tak terkatakan: mari ditanggung bersama–padahal yang paling kena risiko adalah warga sekitar–saat terjadi bencana.
Penyebab yang menyumbang parahnya kondisi ini bisa jadi karena gaya ego sektoral dan business as usual. Masing-masing pihak hanya berpikir yang penting bagaimana tugasnya sendiri sudah selesai dan stop di situ. Peduli setan dengan kinerja instansi lain, apalagi terkait masyarakat yang harapannya juga diuntungkan dari beroperasinya pabrik tersebut. Singkatnya, walau ada saja yang protes, ya terus saja jalan.
Peran Presiden
Di sinilah tampaknya diperlukan peran Presiden sebagai semacam penentu akhir setelah menimbang berbagai manfaat dan kerugian yang ada. Bagaimana representasi sosok negara dengan sumberdaya yang dimilikinya bisa menelaah sejauh mana projek itu benar-benar menguntungkan semua pihak. Tentu saja juga dengan memperhitungkan kemungkinan kerusakan lingkungan dan berbagai dampak lainnya.
Bisa jadi bila dilihat secara lebih komprehensif dari berbagai aspek, keuntungan yang didapat perusahaan semen–yang harapannya juga menyejahterakan rakyat karena merupakan milik negara–termasuk terbukanya lapangan kerja tidak ada artinya dengan berbagai kerusakan yang terjadi. Dari harmoni sosial yang terganggu karena konflik yang muncul, hingga kerusakan lingkungan yang akan memicu bencana.
Dari longsor, banjir, rusaknya lingkungan karst yang tak akan terpulihkan lagi, hingga soal terancamnya keberlangsungan ketersediaan air bersih bagi banyak orang yang tinggal di kawasan Kendeng. Dari peristiwa sudah jatuhnya korban bisa dinilai bersama bahwa kekhawatiran terkait kerusakan lingkungan dan terancamnya keberlangsungan hidup sebagai petani ini memang soal sangat serius bagi sebagian masyarakat yang tinggal di situ.
Sejauh ini tanggapan seperti KLHS yang akan dipaparkan hasilnya pada bulan April maupun pernyataan Gubernur Jawa Tengah yang terakhir menunjukkan bahwa pemerintah ada tapi belum cukup. Bahkan saat Ganjar menyebut masyarakat harus memiliki saham perusahaan semen, tidak sekadar diberi dana CSR, dan harus ada perubahan mendasar dalam soal kepemilikan usaha ini sehingga masyarakat benar-benar menikmati dan memiliki pabrik semen.
Masalahnya sekarang bagaimana realisasi harapan Gubernur itu bisa terwujud dan bukan sekadar menjadi pernyataan kosong. Karena mewujudkan mekanisme kepemilikan saham itu bisa benar-benar direalisasikan bisa jadi merupakan masalah teknis–terutama dari sisi hukum–yang rumit dan perlu waktu, tapi bukan kemustahilan bila pemerintah, perusahaan, dan warga benar-benar punya niat baik dan kesungguhan menuntaskan konflik secara adil.
Demikian sedikit urun rembuk soal setelah mencoba menyadap informasi dari kanan-kiri.