RAB.com (JAKARTA): Sungguh aneh memang cara pikir manusia-manusia di negeri ini. Dari rakyat jelata sampai manusia cendekia yang katanya wakil Tuhan sekarang lengkap sudah faktanya: tidak ada bedanya. Bahwa orang yang bersih, jujur, ceplas-ceplos, membela kepentingan orang banyak, berani berhadapan frontal dengan para koruptor, dan transparan mengelola administrasi pemerintahan, harus dihukum. Kalau perlu dipenjara selama mungkin.
Untuk membuat itu semua kini hanya perlu pemaksaan melalui demonstrasi massa, membawa-bawa masalah SARA (suku, ras, agama, antar-golongan), didukung organisasi massa yang pokoknya asal berani berteriak, dan disokong para pentolan partai politik yang bak siluman cara bermainnya. Karena penyandang dananya punya duit tak berseri, maka kalau perlu demonstrasinya dibuat berjilid-jilid. Pokoknya sampai menempel di kepala orang awam bahwa si A dari ras X sudah menista agama dan harus dihukum tanpa lewat pengadilan.
Kalau perlu semua prosedur hukum yang lazim juga bisa dikesampingkan demi memenuhi tuntutan massa yang setiap kali tampil begitu beringas mengumbar ancaman. Polisi bisa langsung menyidik tanpa ada peringatan dari pihak berwenang terkait agama, seperti tercantum dalam satu aturan yang belum dihapus dan biasanya dipakai untuk menangani kasus penodaan agama. Begitu pula hasilnya segera bisa dinyatakan lengkap berkasnya oleh jaksa penuntut yang biasanya begitu rewel terkait berbagai bukti yang mesti disertakan polisi.
Dan keputusannya pun kilat untuk disidangkan pengadilan dengan berbagai dinamikanya sampai persidangan dialihkan ke aula Departemen Pertanian. Kisah berlanjut dengan TV dan media elektronik lainnya yang tak boleh menyiarkan secara langsung apa yang terjadi di ruang sidang. Kontras dengan kasus kopi bersianida Jessica yang sebenarnya justru hanya masalah pribadi yang sedikit atau bahkan tak ada relevansi dan manfaatnya bagi para pemirsa dan pendengar siaran langsungnya.
Lalu berbagai kejanggalan di mimbar terhormat yang dipandu majelis para wakil Tuhan pun seperti pementasan dagelan tak lucu kalau tak mau dibilang ajang pembodohan masyarakat. Para saksi pelapor yang tidak hadir di tempat saat peristiwa terjadi pun leluasa membeberkan berbagai rekaan hingga kesaksian palsu. Bahkan proses pengadilan sempat diwarnai dengan tekanan massa yang tidak terima kiai sepuhnya diperlakukan sebagai saksi yang dicecar berbagai pertanyaan secara blak-blakan untuk memastikan kejujurannya.
Tak ketinggalan nama mantan presiden yang terakhir ikut terseret karena disebut dalam kesaksian sang kiai sehingga membuat kehebohan tersendiri. Sampai akhirnya ditampilkan kesaksian yang sama sekali bertentangan dari mereka yang diajukan tim pengacara terdakwa. Dan akhirnya pembacaan tuntutan jaksa serta eksepsi dari pengacara. Yang agak melegakan bagi terdakwa saat itu jaksa mengatakan tak ada bukti terdakwa melanggar pasal penodaan agama dan menuntut dengan hukuman percobaan.
Dan hasil dari 20 sekian kali persidangan pun diputuskan. Lima hakim tidak sepakat dengan jaksa yang menuntut hukuman percobaan satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Pertimbangan yang dianggap jaksa membuat terdakwa tidak terbukti melakukan penodaan agama, oleh majelis hakim justru digunakan untuk menyatakan dalih sebaliknya. Bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan justru melakukan penodaan agama dan uniknya menghukum lebih berat dibanding tuntutan jaksa dan langsung masuk penjara.
Keputusan pengadilan tingkat pertama ini tentu saja memberikan pelajaran yang ambigu kalau tak mau disebut aneh. Membingungkan bagi masyarakat awam yang cukup waras bahwa fakta bahwa tentang segala hal yang dituduhkan itu cenderung dibuat-buat, dimanipulasi, dan terutama dipolitisasi; Bahwa itu semua erat kaitannya dengan kompetisi pemilihan kepala daerah, dan akhirnya juga terkuak bahwa itu hanya konflik terluar dari pertarungan di kalangan elit politik, salah satunya adanya perbedaan pilihan antara presiden dan wakil presiden.
Kenyataan yang dengan tegas disanggah oleh pengadilan yang tegas menuding bahwa terdakwa sengaja melakukan penodaan agama. Justru terutama karena mengingat bahwa terdakwa sudah pernah mengalami hal sama saat bertarung di pemilu daerah sebelum berkiprah di Jakarta, maka ungkapannya bahwa ada pihak tertentu yang membohongi pakai ayat kitab suci tertentu itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan adalah dengan niat dan sengaja menodai agama.
Argumentasi para wakil Tuhan ini tampaknya menunjukkan betapa mereka lebih takut pada desakan massa dan bukan karena keadilan dan kebenaran yang seharusnya dijunjung tinggi. Sehingga karena fakta ini pula suatu versi kebenaran dan keadilan itu, sekali lagi dalam kasus ini, tergantung pada seberapa sering suatu kebohongan diulang-ulang sehingga yang mendengar dan melihatnya percaya itu sebagai “kebenaran”. Berikutnya tinggal distempel dengan vonis hakim untuk menyatakan bahwa “kebenaran” itu memang fakta yang sebenarnya.
Tak peduli dengan apa yang sudah diperbuat si terdakwa dan dicatat oleh sejarah sebagai prestasi yang diakui orang banyak. Betapa pun si terdakwa sudah memberikan seluruh pengabdiannya untuk membela dan menyejahterakan secara nyata kepada warga kotanya tanpa kecuali, karena yang digusur pun diberi tempat tinggal lebih layak. Betapa pun si terdakwa sudah memancangkan tonggak dalam mengadministrasi keadilan sosial lewat penerapan sistem online dan non-tunai.
Vonis penjara dua tahun yang serta merta harus masuk penjara itu tidak mendidik bagi yang melihatnya, khususnya bagi generasi muda. Suatu pementasan campur baur nilai yang tak jelas arah yang ingin dituju dan pelajaran yang ingin ditanamkan. Hakim jelas telah gagal merangkai semua yang terjadi dalam persidangan dan gagal menjadi pengadil yang fair, jujur, dan objektif sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang diakui secara universal, khususnya terkait sistem meritokrasi yang ternyata memang belum bisa diterima khalayak negeri ajaib ini.
Khusus tentang meritokrasi yang kerap dilawankan dengan birokrasi sarat KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) terutama pada aspek nepotisme, yang jelas bisa diambil pelajarannya adalah berperilakulah seperti sbiasanya sesuai norma yang berlaku. Tak perlu berprestasi yang justru akan mencelakakanmu. Jangan berani-berani keluar dari pola karena itu akan merugikan banyak orang (sehingga kamu harus dihukum). Selain juga masih manjurnya keyakinan sebagian orang bahwa keniscayaan terbitnya cahaya fajar yang pasti mengalahkan kegelapan malam itu bisa ditunda.