Pemimpin, Korupsi, dan OTT Patrialis Akbar

Aksinya mengguncang dahsyat MK untuk kedua kalinya.
Aksinya mengguncang dahsyat MK untuk kedua kalinya.

RAB.com (JAKARTA): Pemimpin, Korupsi dan operasi tangkap tangan (OTT) Patrialis Akbar. Topik ini menjadi bahasan dua hari belakangan karena untuk kedua kalinya Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang menjadi benteng terakhir konstitusi dan ideologi, jatuh terpuruk di mata khalayak ramai.

Sekali lagi sikap tampak luar yang santun bahkan religius tidak berbanding lurus dengan kejujuran dan tak tergoda materi. Patrialis Akbar yang anggota MK tertangkap tangan menerima duit suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini guncangan dahsyat kedua bagi MK setelah sebelumnya Ketua MK Akil Mochtar terkena OTT dan telah divonis penjara seumur hidup dan dicabut hak politiknya.

Apa yang terjadi merupakan fenomena yang umum terjadi yang kian membenarkan adagium Lord Acton: power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Gamblangnya adagium politisi dan penulis Inggris itu menyatakan bahwa pemimpin atau orang yang berkuasa hampir selalu juga orang yang jahat dan korup. Sejauh pantauan dari keterangan berbagai sumber di berbagai media inilah kasus dengan modus sama yang terjadi untuk kesekian kalinya.

Kejadian tangkap tangan inipun sebenarnya sudah diduga akan terjadi. Ketua Dewan Etik MK Abdul Mukhtie Fadjar, mengatakan Patrialis  paling sering dipanggil dan ditegur berdasarkan laporan masyarakat maupun berita di media. Dari soal tingkah lakunya di ruang sidang, dugaan “berhubungan” dengan pihak berperkara, hingga izin hadir di Monas saat aksi bela agama akhir tahun lalu.

Sepertinya memang karakter Patrialis memang tidak cocok sebagai hakim yang tidak partisan dan mesti relatif soliter agar bisa mengambil keputusan adil sebagai wakil Tuhan. Karakter itu sangat bisa jadi terbawa dari kebiasaan lama orang politik yang memang harus bertemu banyak orang dalam rangka menyerap aspirasi misalnya saat menjadi wakil rakyat.

Tidak ada keselarasan perilaku atau setidaknya adaptasi yang dilakukan anggota Partai Amanat Nasional ini belum bisa mengubah pola pikir maupun tindakan yang mestinya bisa berperan sebagai negarawan. Yaitu mengutamakan kepentingan umum dalam putusannya sebagai Hakim Konstitusi dan bukan hanya memikirkan kepentingan perutnya sendiri.

Yang menarik, Patrialis adalah mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mestinya sangat tahu konsekuensi dan sanksi sebagai pejabat negara bila tertangkap tangan melakukan korupsi. Bisa jadi memang ada unsur mencari tantangan yang di dunia olahraga ekstrem istilahnya apa yang dilakukan sudah membosankan karena tidak ada adrenaline rush yang konon membuat orang merasa excited: membuat hidup lebih hidup.

Atau bisa jadi memang sejak lama–dengan latar belakang sebagai pengacara dan anggota DPR–PA suka bermain dengan kekuasaan. Jelasnya ada kecenderungan bawaan melakukan tindak kriminal jenis kerah putih yang tidak sevulgar merampok atau menodong, tapi hasil dan dampak merusaknya jelas jauh lebih besar dan luas. Apalagi kecenderungan hukumannya pun relatif ringan dibandingkan dengan maling ternak atau motor dan kejahatan jalanan lain yang bisa langsung di-dor.

Karena kekuasaan dan testosteron

Hasil penelitian menunjukkan korupsi disebabkan kekuasaan dan level testosteron.
Hasil penelitian menunjukkan korupsi disebabkan kekuasaan dan level testosteron.

Mengapa orang yang punya kekuasaan besar sering tidak melakukan lebih banyak hal yang membawa kebaikan bagi khalayak. Selain dari kasus ke kasus membuat keputusan yang hanya memberi manfaat kepada dirinya sendiri maupun kelompoknya. Apakah itu karena kekuasaan itu sendiri yang memang punya sisi buruk atau individu koruplah yang tertarik untuk menduduki posisi atau jabatan yang ada kekuasaannya?

Mengapa pemimpin korupsi, kata profesor perilaku organisasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lausanne di Swiss, John Antonakis, telah menggoda dan menantang para peneliti sejak lama. Namun tak banyak riset yang menelisik pertanyaan itu menggunakan desain percobaan (experimental designs) yang memberi kekuasaan pada pemimpin dalam situasi nyata.

Antonakis dan timnya–Dr. Samuel Bendahan, Prof. Christian Zehnder, and Prof. François Pralong–mencoba menjawab pertanyaan itu lewat dua percobaan. Hasilnya baik kekuasaan (dalam menentukan pilihan yang sepenuhnya jadi wewenang pemimpin dan jumlah pengikut) serta kondisi pribadi (berdasarkan level testosteron) menyebabkan korupsi. “Korupsi pemimpin tergantung besarnya kekuasaan dan tingginya kadar testosteron.”

Antonakis dalam pemaparan podcast-nya di Youtube menggunakan game eksperimen berinsentif untuk memanipulasi kekuasaan pemimpin terkait jumlah pengikut dan wewenangnya untuk memaksakan kehendak. Pemimpin punya otonomi sepenuhnya dalam memutuskan upah yang akan dibayarkan kepada dirinya sendiri dan pengikutnya.

“Meskipun pemimpin mestinya bisa membuat keputusan yang menguntungkan semua (prosocial decisions) sehingga khalayak merasakan manfaatnya, mereka bisa menyalahgunakan kekuasaannya dengan memilih keputusan yang cenderung hanya untuk dirinya (antisocial decisions) yang mengurangi total jumlah upah yang didapat kelompoknya tapi meningkatkan pendapatan dia sendiri.”

Pada percobaan pertama yang melibatkan 478 orang, tim Antonakis menemukan bahwa baik jumlah pengikut maupun wewenang sepenuhnya untuk memutuskan jadi penentu korupsi pemimpin. Sedangkan pada percobaan kedua yang melibatkan 240 orang, bisa dilihat bagaimana kekuasaan dan perbedaan individu (individual differences) seperti kepribadian dan kadar hormon, mempengaruhi korupsi pemimpin sepanjang waktu.

Kekuasaan, kata dia, berinteraksi dengan level testosteron dalam tubuh dalam memprediksi korupsi, yang mana korupsi terjadi saat orang sedang di puncak kekuasaan dan level testosteron-nya tinggi.  “Kejujuran menentukan seberapa jauh keputusan pemimpin menguntungkan khalayak, namun kejujuran tidak melindungi pemimpin dari dampak koruptif kekuasaan.”

Implikasi dari penelitian menjangkau jauh dan membuat setiap individu pemimpin bertanggung jawab terkait mekanisme penyelenggaraan organisasi. Selain itu juga memberi kejelasan terkait upaya kongkret untuk menghentikan dan menimbang ulang tentang sebesar apa pilihan kekuasaan dan wewenang yang mestinya dimiliki atau diberikan kepada para pemimpin.

“Kejujuran merupakan faktor yang bisa jadi menentukan agar orang tidak korupsi. Tapi jelas itu tidak cukup. Perlu dukungan sistem dan pengawasan yang baik untuk meminimalisir kecenderungan pemimpin menyalahgunakan kekuasaannya,” pungkas Antonakis.

 

 

Podcast Profesor Antonakis dapat dilihat di: https://youtu.be/JoLLPNZLBAo.