RAB.com (JAKARTA): Remaja pengakses dan penikmat pornografi di Australia usianya kian muda. Hasil yang menemukan semakin banyaknya jumlah remaja pengakses konten pornografi ini menguatkan dugaan kurangnya informasi tentang pendidikan seks serta adanya hubungan antara penggunaan pornografi, masalah kesehatan mental, dan menjadi aktif secara seksual pada usia muda.
“Semua laki-laki muda pada riset kami mengatakan mereka sudah melihat pornografi, begitu juga mayoritas perempuan. Fakta bahwa warga Australia mulai usia 15 sudah menyaksikan pornografi ini mengejutkan,” kata Dr Megan Lim, kepala tim peneliti dari Burnet Institute, seperti ditulis kompas.com awal pekan ini.
Riset yang dilakukan 941 orang itu juga menemukan remaja pria pada umumnya melihat pornografi pertama kali pada 13 tahun, dan perempuan 16 tahun. Para remaja melihat pornografi dalam frekuensi yang cukup tinggi. “Sekitar 80 persen remaja pria mengaku menonton tiap pekan, dan di antara perempuan yang menonton pornografi hampir dua pertiga melihat sekurangnya tiap bulan,” kata Lim.
Dia menambahkan timnya mengidentifikasi adanya hubungan antara penggunaan pornografi, masalah kesehatan mental dan menjadi aktif secara seksual pada usia muda. Lim mengatakan timnya tak bermaskud membuktikan menonton pornografi adalah hal buruk. “Namun, jelas menonton pornografi lebih sering terkait dengan sejumlah akibat negatif.”
Lim menyebut tingginya frekuensi melihat pornografi terkait dengan buruknya kesehatan mental. Namun, lanjutnya, penelitian ini tidak bisa mengatakan yang satu mengakibatkan hal lain. Penelitian juga menemukan kaum muda yang teridentifikasi sebagai lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer menonton pornografi lebih sering sejak usia muda.
“Tidak jelas pengaruh macam apa yang mungkin terjadi pada perkembangan seksual (orang muda). Namun dengan angka penggunaan pornografi yang tinggi itu perlu disadari untuk mengajari orang tentang seks di tengah dunia yang sedang berubah,” kata Lim menambahkan temuan ini berimplikasi penting untuk mengembangkan pendidikan seksual yang relevan.
Dia menilai pendidikan seks yang sesuai diperlukan untuk diterapkan di sekolah menengah atas, atau lebih dini. “Saya tidak menyarankan sekolah menyediakan rincian tentang bagaimana melakukan seks anal, tapi mereka perlu mengetahui itu terjadi di dunia nyata seperti dalam film porno dan mendiskusikan perbedaan tentang bagaimana itu dipraktikkan di dunia nyata,” kata dia.
Peneliti juga menemukan orang muda yang tidak teridentifikasi heteroseksual sering merasa tidak terlibat dalam pendidikan seks di sekolah, yang sering terfokus pada perilaku heteroseksual. Hipotesa kami, kata Lim, remaja ini luput dari pendidikan seks tradisional dan bahkan di media. Dia mencontohkan sangat sedikitnya informasi di luar sana tentang kelompok berbeda.
“Jadi anak muda mungkin mencari informasi lebih jauh tentang hal yang mereka ingin tahu, dan satu-satunya cara yang mereka bisa akses adalah melalui pornografi,” ujarnya terkait penelitian berdasarkan survei daring yang merekrut partisipan dari media sosial pada 2015 dan dipublikasikan di Australian and New Zealand Journal of Public Health.
Saat negara lain sudah memikirkan sebegitu jauh kesejahteraan warga remajanya, bagaimana dengan Indonesia?