Penguatan Wewenang Komite Sekolah Menggalang Dana Membingungkan

ks1

RAB.com (JAKARTA): Penguatan wewenang Komite Sekolah membingungkan. Betapa tidak, tambahan wewenang penggalangan dana yang disahkan lewat Peraturan Menteri Pendikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 75/2016 sama sekali tidak menjawab masalah klasik pendanaan pendidikan di sekolah negeri karena di satu sisi negara telah mengeluarkan begitu banyak anggaran yang terus meningkat tapi tetap saja orangtua siswa dianggap sumber pendanaan yang harus dimanfaatkan.

Mengutip pendapat pengamat pendidikan Doni Koesoema bahwa pihak sekolah hampir selalu mengatakan bahwa anggaran dari pemerintah tidak pernah cukup. Tapi saat ditanya bagaimana perincian penggunaan anggaran dan apa saja yang kurang selalu terkesan ada yang ditutup-tutupi.

Sedangkan dari sisi orangtua yang biasa terjadi ada sebagian yang merasa harus memberikan fasilitas maksimal kepada putra-putrinya atau terkesan mengiyakan apa yang dimaui sekolah untuk menutup kekurangan dana. Sedangkan sebagian orangtua lainnya merasa bahwa bagaimanapun anggaran dari pemerinta harus cukup dan tidak perlu ada sumbangan apalagi pungutan untuk penyelenggaraan pendidikan yang dirasa memberatkan.

Perbedaan itu tentu membuat suasana pertemuan yang digelar Komite Sekolah selalu tidak nyaman bagi semua pihak. Orangtua pendukung pungutan yang biasanya dari kelompok dengan ekonomi lebih baik selalu mengacu pada standar sekolah swasta. Sedangkan orangtua yang tak setuju pungutan menilai para para orangtua berpunya itu mestinya sekalian saja menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta.

Argumentasi lebih lanjutnya adalah bahwa bagaimanapun sekolah negeri mestinya harus bisa menampung siswa dari kelompok rata-rata atau bahkan bawah. Apalagi kalangan pengamat pendidikan mengatakan bahwa pendidikan harus dibuka seluas-luasnya terutama kepada yang tidak mampu karena lewat pendidikanlah orang bisa keluar dari kemiskinan. Jadi tidak pada tempatnya kelompok mampu bahkan berlebih ngotot meningkatkan standar penyelenggaraan sekolah negeri.

Kengototan yang diduga karena para orangtua mampu ini mau menyekolahkan anaknya ke sekolah berfasilitas bagus yang disubsidi negara. Atau dugaan lainnya para orangtua ini sebenarnya belum benar-benar termasuk kelompok berlebih tapi aspirasi dan ekspektasinya tentang sekolah negeri terlalu tinggi. Bisa jadi kejadiannya sama dengan subsidi salah sasaran seperti pada kasus listrik 900 watt atau gas melon.

Dalam kaitan ini mungkin memang diperlukan audit independen tentang pengelolaan keuangan sekolah mengingat anggaran pendidikan dari pemerintah (pusat dan daerah) cenderung selalu meningkat. Auidit selain terkait pengadaan barang terutama juga soal efisiensi terkait kinerja masing-masing guru. Tepatnya lebih ke standar kompetensi yang dimiliki dengan apa saja yang telah dikerjakan dalam proses belajar mengajar,

Mestinya ada angka atau indeks yang bisa diacu sebagai rujukan untuk memastikan sejauh mana suatu sekolah telah memenuhi kriteria sebagai fasilitas pendidikan prima. Kongkretnya sejauh mana biaya yang telah dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan suatu sekolah bisa memberikan output maksimal. Yang bila menyangkut guru tentu saja tentang berapa yang dipakai membiayai seorang guru per bulan dibandingkan dengan apa yang telah diselesaikannya.

Mendikbud bantah

Sekolah diharamkan melakukan pungutan tapi boleh menerima sumbangan.
Sekolah diharamkan melakukan pungutan tapi boleh menerima sumbangan.

Mendikbud Muhadjir Effendy dalam siaran persnya akhir minggu lalu menyatakan tak akan mencabut kebijakan sekolah gratis. Biaya program wajib belajar 12 tahun, lanjutnya seperti dikutip detik.com, akan tetap ditanggung negara.

“Jadi tidak benar pemerintah mau lepas tangan. Tidak ada rencana mencabut sekolah gratis,” kata Mendikbud menanggapi isyu di media sosial. Menurutnya justru saat ini Kemendikbud tengah gencar mennyalurkan anggaran untuk menutup kesenjangan akses pendidikan bagi kalangan kurang mampu.

Mendikbud menambahkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sangat disadari punya keterbatasan. Karena itu, lanjut dia, perlu digali partisipasi potensi masyarakat untuk  untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui Komite Sekolah.

“Permendikbud tentang Komite Sekolah dimaksudkan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam memajukan pendidikan. Aturan ini dibuat untuk memperjelas peran Komite Sekolah,” ujarnya menambahkan bahwa Komite Sekolah dilarang keras melakukan pungutan.

Sumbangan, bantuan, dan pungutan

Permendikbud) No. 75/2016 tentang Komite Sekolah mengatur batas-batas penggalangan dana yang boleh dilakukan Komite Sekolah. Penggalangan dana tersebut ditujukan untuk mendukung peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah dengan azas gotong royong.

Dalam Permendikbud tersebut, Komite Sekolah diperbolehkan melakukan penggalangan dana berupa sumbangan, bantuan, dan bukan pungutan.

Sesditjen Dikdasmen Kemendikbud Thamrin Kasman mengatakan, pasal 10 ayat (1) terdapat aturan Komite Ssekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.

ks

Kemudian pada pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.‎

Yang dimaksud dengan bantuan pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya, dengan syarat yang disepakati para pihak.

Sumbangan pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa/ oleh peserta didik, orang tua/walinya, baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan.

Pungutan pendidikan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan. “Penggalangan dana berupa sumbangan, bantuan, maupun pungutan memungkinkan terjadi di satuan pendidikan, karena belum adanya analisis kebutuhan biaya yang benar-benar riil di satuan pendidikan,” ujarnya.

Kasman menambahkan‎ dalam anggaran pendidikan sekolah ada biaya ideal dan biaya faktual. Pilihannya adalah, layanan pendidikan di sekolah itu mau menggunakan biaya ideal atau faktual. “Kalau mau ideal, tapi secara faktual dana BOS belum cukup membantu, lalu ada yang mau nyumbang untuk menutupi itu, ya silakan,” pungkasnya seperti dikutip www.teraskreasi.com.