RAB.com (JAKARTA): Warga Jakarta ternyata belum bisa bernafas lega. Hasil hitung cepat pemilihan kepala daerah (pilkada) menunjukkan tidak ada pasangan calon yang mengumpulkan suara 50 persen plus satu. Pilkada akan memasuki putaran kedua untuk menentukan siapa gubernur-wakil gubernur periode 2017-2022.
Sejak hitung cepat mendapatkan hasil bahwa pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat di kisaran 40 persen dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di kisaran 40 persen, berbagai analisis mengatakan pertarungan di putaran dua pada 19 April 2017 akan berlangsung seru.
Masing-masing pasangan calon yakin dengan strategi memenangi pertarungan. Yang jelas tampaknya polarisasi akan kian tajam seperti pada waktu pemilihan presiden 2014: pendukung paslon Ahok-Djarot terafiliasi dengan pendukung Presiden dan pasangan Anies-Sandi yang jelas merupakan pendukung Prabowo yang dalam kampanye mengatakan bila ingin dirinya menjadi presiden pada 2019 maka pilihlah Anies-Sandi.
Dalam situasi tersebut masih ada waktu dua bulan lagi, yang bagi sebagian orang sudah terlalu jenuh dengan hiruk pikuk yang masih akan dihadapi. Banyak orang mengatakan tak mestinya bila ada pasangan yang meraih suara 50% plus 1, semua perseteruan akan berakhir hari ini. Pertarungan head to head ini akan berujung pada dua kemungkinan: makin mengokohkan perjuangan para pendukung atau malah sebaliknya.
Hal ini mengingat angka golongan putih (golput) yang konon mencatatkan rekor terendah di pilkada kali ini yaitu hanya 28 persen. Bisa jadi angka tersebut naik lagi akibat kejenuhan, khususnya terkait perang opini di media sosial (medsos). “Terus terang saya sudah lelah dengan perang opini di media sosial. Kalau boleh sebenarnya saya lebih suka memilih lagi besok pagi untuk memastikan segera siapa yang menang,” kata musisi Tompi di salah satu stasiun TV.
Ungkapan Tompi jelas mewakili keresahan banyak orang, khususnya terkait saling jawab pernyataan dan berita hoax yang sudah mengganggu hubungan sosial bahkan personal. Hal ini cukup meresahkan karena tanpa tatap muka langsung orang terbukti jadi lebih berani dan bertindak ngawur dalam menuliskan dan membela pendapatnya.
Hal lain yang juga banyak diperdebatkan adalah soal sekitar 17 persen pendukung Agus Sylvi kemana akan menyalurkan aspirasinya pada pilkada putaran kedua. Analisis gampangan mengatakan bahwa karena kesamaan sentimen agama maka para pendukung itu akan memberikan suaranya ke Anies-Sandi.
Bisa jadi mengingat popularitas Agus-Sylvi yang diindikasikan didukung oleh kalangan menengah ke bawah. Tapi mengingat berdasarkan survei satu lembaga bahwa 72 persen pemilih mendengarkan dirinya sendiri dalam menentukan siapa yang akan dipilih, bisa jadi kejadiannya tak sesederhana itu.
Para pendukung Agus-Sylvi ini kemungkinan masih perlu diyakinkan lagi untuk bisa mempercayai apa yang dikatakan para paslon yang masih akan berkompetisi. Dalam hal ini jelas petahana diuntungkan karena tinggal memperbanyak sosialisasi apa saja yang telah mereka lakukan. Dibandingkan dengan pasangan Anies-Sandi yang bagaimanapun baru berjanji.
Terkait soal ini, pasangan Anies-Sandi harus benar-benar bisa memaparkan secara kongkret apa yang akan dilakukan. Bahkan kalau benar sudah ada contoh sukses pelatihan OK OC mestinya bukan seperti menampilkan sepatu produk lokal prima yang ditenteng sampai ke atas panggung debat, yang ternyata sebenarnya adalah pabrik yang telah lama berproduksi dan lokasinya ada di Tangerang.
Hal yang tak kalah penting adalah soal perang opini di medsos yang jadi kontraproduktif. Pengiriman pesan beruntun ke berbagai grup di media sosial banyak ditanggapi negatif pula oleh para anggota grup yang merasa terganggu tempatnya bersosialisasi menjadi ajang politik. Bahkan ada usul untuk memberi sanksi mengeluarkan si anggota grup yang nekad menyebarkan konten yang cenderung fitnah itu.
Faktor eksternal yang tak bisa diremehkan adalah kelanjutan persidangan kasus dugaan penodaan agama yang sejauh ini justru lebih mengungkap banyaknya upaya rekayasa untuk memenjarakan Ahok. Juga bola yang sudah digelindingkan di DPR soal hak angket pemberhentian sementara gubernur karena didakwa dengan ancaman hukuman lima tahun akibat perbedaan penafsiran Pasal 83 UU Pemerintahan Daerah.
Jadi waktunya mungkin masih cukup panjang untuk menarik simpati dari kalangan pemilih yang jagonya sudah kalah. Siapa yang bisa mengajak dengan lebih meyakinkan akan mendapatkan limpahan dukungan yang akan menentukan kemenangan di putaran kedua.