RAB.com (JAKARTA): Sepertiga penjualan online (digital value) Asia Tenggara berasal dari Indonesia dalam kurun waktu delapan tahun mendatang. Pemilik usaha dan praktisi marketing harus mengetahui perjalanan konsumen sampai pada keputusan membeli agar bisa mengoptimalkan pendapatan bisnisnya.
“Berdasarkan riset yang kita lakukan bersama Temasek pada 2016, Indonesia akan menjadi negara digital terbesar di Asia Tenggara dengan potensi digital value atau online sales senilai US$ 81 miliar. Nilai itu sekitar sepertiga dari penjualan seluruh Asia Tenggara yang US$190 miliar dalam delapan tahun mendatang,” kata Industry Head Google Indonesia Henky Prihatna dalam Dewatalks digital marketing 2017: Challenges and Solutions di Jakarta, Sabtu (20/5).
Sebagian besar dari US$81 miliar itu, kata Henky, akan datang dari e-commerce atau jualan online yang transaksinya akan mencapai sekitar US$50 miliar dalam kurun waktu 8 tahun. Menurutnya, kita patut bangga karena Indonesia disebut akan menjadi the next Silicon Valley. Tantangannya, lanjut dia, bagaimana pemilik usaha baik kecil, menengah, maupun besar moving ke digital atau online seiring terjadinya perubahan perilaku konsumen.
Acara yang diadakan Dewaweb itu juga menghadirkan pembicara lain: Edy Budiman, founder sekaligus CEO Dewaweb, Nicolay Nedev dari rankingCoach, dan Rhein Mahatma yang pakar internet marketing. Masing-masing membahas tentang apa yang dilakukan untuk menjamin kecepatan, keandalan, dan keamanan penyedia jasa hosting; bagaimana perkembangan terbaru strategi digital marketing dan SEO di dunia; serta strategi sosial media (sosmed) untuk bisnis online.
Henky mengatakan potensi Indonesia besar sekali karena merupakan negara dengan populasi terbesar ke-4 yang jumlah penduduk 260 juta. Kalau bicara soal potensi ekonomi digital, pengguna internet sekarang lebih dari 100 juta. “Kalau 10 tahun lalu saya seminar seperti ini saat bertanya siapa yang punya smarthphone, jawabnya masih sedikit. Punya BB bisa chatting. Sekarang bertanyanya beda: siapa yang punya smartphone lebih dari satu. Atau siapa yang punya powerbank. Itu ciri orang Indonesia.”
Jadi, tegasnya, konsumen di Indonesia itu sudah berubah dari yang tradisional, sekarang benar-benar sudah digital. Itu semua terjadi pada semua kelompok umur. Anak saya dua, 5 dan 3 tahun, mereka sudah digital native, yang ditonton Youtube. Babysitter dan pembantu saya juga sama, saya selalu mencontohkan ini, saat wawancara kerja yang mereka tuntut beda. Kalau dulu yang ditanya ada mesin cuci atau ada TV di kamarnya, sekarang yang ditanya terkait internet seperti ada wifi nggak.”
Micro moment kian penting
Khususnya terkait marketing di dunia online, kata Henky, mengecek perubahan perilaku konsumen paling gampang bisa dilakukan dengan menanyakan siapa yang: memakai google search, menonton youtube dua hari terakhir, menggunakan google maps, memakai android, dan memanfaatkan google translate. “Kesimpulannya dalam setiap kegiatan kita selalu memakai internet. Konsumen sudah berubah, kita makin lama makin malas. Apa-apa cari di internet.”
Dulu, lanjut Henky, orang memakai google untuk mencari informasi yang benar-benar bersifat pengetahuan, misalnya bendera Jepang atau lagu kebangsaannya. Sekarang, tuturnya, orang sudah berubah dan menggunakan internet itu untuk belanja, mencari barang, untuk mendapatkan review, bahkan untuk hal yang sangat personal dan maunya cepat atau instan. Bahkan ada yang apakah saya harus melanjutkan ke S2, bertanyanya ke Google.
“Soal instan dan cepat saat mencari, misalnya restoran terdekat di mana, handphone murah di mana, review item ini di mana, semua itu disebut sebagai micro moments. Kita sebagai pemilik bisnis yang terkait dengan marketing, penting untuk mengerti bahwa dengan adanya dunia mobile itu semua sekarang pindah ke micro moment, yaitu momen yang sangat penting bagi seorang konsumen. Misalnya saat saya ingin belanja baju, mau nonton film, cari tiket pesawat, itu momen penting.”
Henky menegaskan pemilik bisnis harus bisa menangkap momen itu. “Harus peduli itu karena itu konsumen anda yang sudah berubah. Bahkan mungkin sudah jarang nonton TV karena sudah banyak nonton Youtube. Tidak mendengarkan radio tapi mengakses Spotify. Jadi konsumen sudah berubah. Pada saat konsumen mencari sesuatu produk atau jasa anda, anda harus muncul. Kenapa? Karena itu kesempatan anda untuk mendapatkan hati konsumen sehingga mereka bisa menjadi pelanggan Anda.”
Soal ini menurut Henky sangat penting dalam dunia marketing. Istilah kerennya with moment that matters karena konsumen sekarang menghabiskan sebagian besar waktunya di mobile. Dia menceritakan saat meeting di Google yang pernah dicoba ganti suasana dengan mengumpulkan handphone sebelumnya, sehingga tidak boleh ada yang pegang handphone yang mengganggu rapat karena setiap orang pasti engage. Setiap berapa menit lihat handphone.
“Sama kayak di sini saat saya ngomong yang topiknya sudah keren, ada saja yang WA-an, atau update status nggak penting. Inilah dunia kita atau dunia konsumen kita sekarang, sehingga kita yang mempelajari marketing atau pemilik bisnis harus tahu itu,” ujar pria yang telah bekerja delapan tahun di Google itu seraya menambahkan bahwa dari data pemilik usaha yang disurvei penjualannya rata-rata naik 100% karena tablet dan smartphone.
Makin rumit
Masih terkait micro moment, Henky yang dalam tugasnya fokus pada e-commerce dan startup, mengatakan dirinya pernah menghitung berapa momen mikro dalam satu hari yang dialami. “Dari jam delapan pagi sampai sepuluh malam, momen saya bisa sampai sekitar 200-an. Dari beli kado untuk ulang tahun teman, membelikan tiket orangtua, sampai cari sekolah untuk anak,” ujarnya menambahkan bahwa di setiap touch point itu idealnya sentuhan pemasar harus ada.
Dia mengatakan keyakinannya banyak konsumen lain jumlah momennya rata-rata dalam sehari sama atau bahkan lebih. Dari momen itu terbentuk consumer journey yang juga disebut purchase funnel. “Saat ingin menonton film baru, pasti orang melihat trailer-nya dulu, terus kapan saja jadwal tayang di bioskop, lalu di mana bioskop terdekat, baru dia melakukan pembelian tiket,” jelasnya seraya menambahkan selalu ada proses semacam itu termasuk konsumen tradisional
“Jadi dari punya niat atau ingin melakukan sesuatu sampai beli tiket, atau dari ingin renovasi rumah sampai akhirnya beli kerajinan tangan karya anda, prosesnya sama, yaitu ada awareness, consideration, lalu baru purchase,” ujar Henky. Tapi kenyataannya dengan berkembangnya dunia online, lanjutnya, proses atau perjalanan ini tak hanya tiga macam tapi macam-macam. Dengan adanya sosial media, berita, chatting WA dan lain lain, serta Youtube, orang berubah saat melakukan consideration.
“Proses yang dilakukan konsumen sampai pada keputusan untuk melakukan pembelian (consumer journey) sekarang juga jadi lebih rumit. Kalau dulu gampang: ngiklan di TV ada permen rasa baru, orang langsung cari di warung dekat rumah dan langsung beli.
Sekarang mau nonton film, posting dulu ke sosmed untuk nanya walaupun tiket tak mahal seperti beli rumah atau barang penting. Tapi tetap bertanya atau baca dulu resensi atau wawancara artis-artisnya.” tuturnya.
Henky menambahkan meskipun panjang pendeknya atau lama tidaknya proses tergantung masing-masing orang, namun tetap saja tak mengurangi banyaknya momen yang bisa dimanfaatkan. Di Jakarta tentu ada ratusan juta momen dengan mengalikan 200 momen dan jumlah penduduk jakarta dan wilayah sekitarnya yang sekitar 20 juta. Bahkan bukan cuma di Jakarta dan Indonesia tapi di seluruh dunia. Bila anda punya konsumen di Prancis, katanya, anda harus bisa menangkap momen ini karena bicara dunia online yang tanpa batas.
Jadi kalau anda ingin sukses dalam bisnis, simpulnya, anda harus fokus untuk konsumen. “Bisa dilihat kenapa Google bisa sukses seperti ini karena kami melakukan itu. Salah satu filosofi Google adalah: focus on user, everything will follow. Jadi kita harus tahu perilaku konsumen seperti apa kalau mau mendapatkan bisnis dari dia,” tandasnya menambahkan tahun lalu 57 persen pemegang smartphone memanfaatkan perangkat itu untuk berbelanja online.
Adopsi paling tinggi
Pada akhir 2016 Henky mengungkapkan, kecenderungan masyarakat Indonesia menggunakan smartphone jauh lebih tinggi dari India atau China sekalipun. Dia menyatakan 71 persen warga negara Indonesia saat ini menggunakan smartphone. Di India hanya 69 warganya yang aktif menggunakan perangkat tersebut. Di Thailand hanya 55 persen dan China 44 persen. Pesatnya penggunaan telepon pintar tersebut semakin digemari dengan berkembangnya sistem operasi android.
“Penetrasinya dalam hal smartphone adoption, Indonesia memang paling tinggi,” ujar Henky. Selain penggunaannya banyak, rata-rata pemakaiannya pun tidak sebentar. Hasil temuan Google, masyarakat Indonesia rata-rata menggunakan perangkat itu selama dua jam atau 136 menit dalam sehari. Temuan Google juga mengungkapkan, dari lamanya penggunaan smartphone tersebut 68 menit di antaranya menggunakan browser dan 68 menit lainnya untuk apps.
Henky menilai hal tersebut menunjukkan masyarakat Indonesia memang sudah sangat menggemari telepon pintar. Saat berbelanja online, menurut Henky, Google menemukan bahwa 92 persen pembeli mengaku membeli menggunakan satu aplikasi atau dari situs yang memberikan informasi relevan. Bahkan, sebesar 87 persen pembeli menyatakan telah berubah pikiran mengenai sebuah merek di toko nyata, setelah membaca informasi produk tersebut di smartphone mereka.
Selain itu, 77 persen masyarakat pengguna smartphone mengunjungi sebuah toko atau situs berbelanja setelah memperoleh informasi produknya dari telepon pintar tersebut. Hal itu, menurut Henky sesuai dengan karakter pembeli di Indonesia yang tidak setia seperti survei Google karakteristik masyarakat seperti itu besarnya 87 persen.
Google Indonesia mengungkapkan lima kategori tertinggi dari pencarian produk Indonesia selama musim belanja akhir tahun, salah satunya produk kecantikan dan personal care. Henky menyitir data Google dari November-Desember tahun 2015. Setelah itu, mereka mencari gadget dan aksesoris, pakaian serta barang untuk bayi, saat berbelanja online. Kecenderungan tersebut terjadi di Indonesia saat Ramadhan hingga Idul Fitri dan Desember hingga menjelang tahun baru. Di luar bulan itu, belanja online di Indonesia dalam posisi rendah.