Solusi Bank Dunia untuk Pendanaan Pembangunan Infrastruktur

Kebutuhan pendanaan pembiayaan pembangunan infrastruktur Indonesia diperkirakan US$ 500 miliar dalam lima tahun mendatang.
Kebutuhan pendanaan pembiayaan pembangunan infrastruktur Indonesia diperkirakan US$ 500 miliar dalam lima tahun mendatang.

RAB.com (JAKARTA): Kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur Indonesia masih sangat besar, tetapi ketersediaan dana dalam rupiah begitu terbatas karena upaya bank domestik dalam mencari dana rupiah dari bank asing juga cukup sulit. Untuk itu, Indonesia didorong untuk berinovasi dalam masalah pembiayaan infrastruktur.

perlu ada pendalaman modal dan kreativitas dalam strategi menangkap pendanaan. Salah satu instrumen yang penuh peluang antara lain, obligasi hijau dan obligasi biru, yakni pendanaan surat utang yang berhubungan dengan lingkungan hidup,” kata Presiden World Bank Jim Yong Kim dalam Indonesia Infrastructure Finance Forum pada Selasa (25/7).

Kim mengatakan banyak potensi dana hibah untuk pembangunan yang berhubungan dengan adaptasi perubahan iklim. “Kami punya sekitar US$ 1 miliar,” ujarnya menambahkan pihaknya juga menawarkan skema pendanaan murah dengan mengombinasikan pendanaan komersial dengan hibah.

Pendanaan itu, katanya, bisa dikombinasikan dengan pasar modal untuk bisa mendapatkan dana senilai US$ 4 miliar dengan tenor 15 tahun dan suku bunga 2%. “Kalau keduanya digabung, bisa didapatkan pendanaan dengan suku bunga yang mendekati 0% dengan tenor 20 tahun,” lanjutnya.

Kim menekankan, dengan pendanaan yang murah itu bisa lebih merangsang pihak swasta untuk berkontribusi untuk pembangunan seperti infrastruktur. Jadi, tidak perlu selalu mengandalkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Menurutnya bisa jadi skema pembiayaan ini dapat menjadi solusi ideal untuk Indonesia.

Sejumlah hambatan

Bank Dunia memperkirakan dalam lima tahun mendatang Indonesia membutuhkan dana hingga US$ 500 miliar untuk mengurangi kesenjangan infrastruktur di seluruh wilayahnya. Anggaran pemerintah tidak cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur, di antaranya karena pungutan pajak yang belum maksimal.

Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, untuk pembiayaan infrastruktur dari bank yang bertenor jangka panjang sulit untuk dicairkan dalam jumlah sangat besar. Pasalnya, 80% dana yang ada di bank domestik berada pada tenor satu bulan dan tiga bulan.

“Nah, kalau kami menarik dana dari investor asing, biasanya mereka menginginkan dana dengan mata uang lokal mereka atau dolar AS. Hal ini juga menjadi salah satu polemik,” ujarnya seperti dikutip bisnis.com. Padahal untuk kebutuhan pembiayaan infrastruktur, Kartika menjelaskan, lebih membutuhkan rupiah ketimbang mata uang asing.

Di sisi lain, Kepala Divisi Asia Pacific Sumitomo Mitsui Banking Corporation Ryuji Nishisaki mengatakan, pihaknya mengakui sulit untuk memberikan pinjaman dalam mata uang lokal karena ada batasan aturan dalam pasar uang dan sektor perbankan. “Untuk itu, salah satu solusinya adalah melakukan kerja sama dengan lembaga multilateral seperti, pasar modal,” ujarnya.

Untuk struktur pembiayaan seperti infrastruktur, kata Nishisaki, penentuan penggunaan mata uang untuk pinjaman tergantung jenis projek. “Bila pemasukan dan biaya konstruksinya dibayar dalam rupiah, pinjaman sebaiknya juga dengan rupiah. Kalau, projek lain yang dalam kontrak ada penggunaan dolar AS, berarti bisa menggunakan campuran antara rupiah dan dolar AS,” jelasnya.