RAB,com (JAKARTA): Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di 101 wilayah di Indonesia sudah berakhir. Ada yang sudah hampir mendapatkan kepastian siapa yang menjadi pimpinan dengan menunggu hasil hitungan riil (real count) yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tapi ada yang hampir pasti harus melakukan pilkada putaran kedua.
Lepas dari pemberitaan media yang sangat bias Jakarta, pilkada di hampir seluruh daerah berlangsung dengan aman dan lancar. Secara umum tidak ada gejolak berarti yang sempat dikhawatirkan terjadi. Juga soal cuaca buruk yang sempat diperkirakan akan mengganggu pada hari pemungutan suara. Masalah yang muncul seperti biasa, dan bikin heran kenapa tidak pernah bisa dituntaskan, adalah soal daftar pemilih tetap (DPT), surat suara kurang, dan politik uang.
Khususnya soal DPT dan surat suara itu jadi mengemuka karena terjadi di Jakarta. Bagaimana warga yang punya dokumen resmi kependudukan masih saja ada yang tidak masuk DPT. Yang bisa jadi akhirnya berimbas pada kurangnya surat suara yang banyak diberitakan, lepas dari adanya kesengajaan dari panitia pemilihan di tempat pemungutan suara (TPS) yang diduga mempersulit warga yang akan menunaikan haknya memberikan suara.
Berita yang Jakarta sentris merupakan kewajaran karena liputan semua media tumplek blek menyoroti ketidakberesan yang terjadi. Untungnya tidak berlaku generalisasi bahwa kalau di Jakarta yang menjadi patokan saja masih bisa terjadi ketidakberesan semacam itu, bagaimana di daerah lain. Faktor yang tampaknya lebih mengemuka adalah dinamika pemilihan gubernur dan wakilnya di ibukota negara yang melibatkan tokoh-tokoh top di negeri ini.
Bagaimana ketiga pasangan calon (paslon) Agus-Sylvi, Ahok-Djarot, dan Anies-Sandi, masing-masing mewakili kelompok politik yang tokoh puncaknya mengerucut pada tiga sosok yang pernah ikut berkompetisi menjadi presiden negeri ini. Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden ke-5 Megawati dan Presiden Jokowi, serta kandidat presiden Prabowo Subianto. Sejumlah pengamat politik menyebut pilkada DKI sebagai pilkada rasa pilpres (pemilihan presiden).
Dampaknya meluas
Karena kondisi tersebut tidak mengherankan apa yang berlangsung di ibukota ini juga menjadi perhatian di daerah. Perang pernyataan bahkan berita hoax, khususnya lewat media sosial (medsos), menjadi keseharian yang melibatkan semua orang di Indonesia. Polarisasi jadi kian nyata karena dilibatkannya unsur psikologis-emosional karena Ahok, lewat desakan massa, ditersangkakan dan lalu didakwa karena diduga telah melakukan penodaan agama.
Alhasil Pilkada DKI 2017 menjadi pesta demokrasi yang paling menguras tenaga juga emosi. Tak cuma mereka yang tinggal di Jakarta, mereka yang berada di luar Jakarta, warga di pelosok Kalimantan, sampai warga di pelosok Papua pun, terlibat dalam pusaran pertentangan opini yang sengit. Meskipun jelas pula bahwa mereka tidak punya kepentingan memberikan suaranya di Jakarta.
Pilkada DKI merupakan ujian bagi pertemanan banyak orang. Tidak bisa dihitung berapa cerita orang yang meng-unfollow teman atau bahkan sahabatnya di media sosial. Sudah berapa orang yang bahkan mem-blokir akun orang lain. Dan sudah berapa orang yang selalu “perang urat syaraf” demi membela keberpihakannya pada si penoda agama atau paslon lain yang dianggap segolongan dan seiman.
Tapi hidup harus terus berjalan. Lepas dari berbagai ketegangan itu kita tampaknya mesti belajar menertawakan diri sendiri. Sesekali kita perlu memeriksa kapan terakhir kali bisa tertawa lepas? Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang selera humornya tinggi: mampu tertawa di saat situasi paling tegang sekalipun. Bahwa masih ada kegembiraan yang bisa dibagikan terkait perhelatan pilkada di DKI.
Bukan karena Ahok menang. Bukan juga karena Agus kalah. Atau Anies melaju ke putaran kedua. Atau perang opini yang masih akan berlangsung sengit dalam dua bulan mendatang. Yang bila memikirkan semua itu, hanya membuat kita bisa tambah tegang menunggu tanggal 19 April saat hari pemungutan suara kedua dijadwalkan. Kegembiraan itu karena berbagai ironi yang mengiringi pilkada DKI kali ini.setelah membaca portal-portal berita online tentang Pilkada DKI.
Tiga pemantik tawa
Setidaknya ada tiga hal yang membuat kita bisa tersenyum simpul atau bahkan tertawa kegelian. Pertama, kemenangan Ahok di TPS Petamburan tempat tinggal Habib Rizieq. Ironi ini seharusnya bisa mengalahkan “Fitsa Hats”nya Novel Bamukmin. Kemenangan Ahok ini merupakan tamparan keras bagi Rizieq dan FPI. Mereka kecolongan. Di saat Rizieq dan FPI berteriak lantang ke seantero Jakarta dan Indonesia agar “jangan pilih pemimpin kafir”, di rumahnya sendiri ia malah gagal memprovokasi.
Karena tidak terima Ahok menang di markas FPI, panitia menghitung ulang suara. Dibuka kembali satu persatu surat suara. Dihitung kembali. Lalu, hasilnya tetap sama, Ahok tetap menang. Perhitungan kembali dilakukan lagi. Pikir mereka mungkin ada suara yang tidak jelas, sebab, huruf depan nama masing-masing cagub sama, yakni A. Bisa jadi salah dengar. Akhirnya. perhitungan dilakukan hingga lima kali dan hasilnya sama. Malahan, terjadi sebuah keanehan karena suara untuk Ahok malah bertambah.

Kedua, kejadian tak terduga di TPS rutan KPK. Di tempat musuh bebuyutan Ahok, yakni Sanusi yang santun tapi korupsi, dipenjara. Kalau kita lihat secara psikologis tahanan KPK harusnya tidak memilih paslon yang sudah terbukti musuh para koruptor. Karenanya wajar suara Ahok diduga akan dilibas habis di TPS ini. Tapi entah kenapa terjadi sebuah keanehan di TPS ini: Ahok-Djarot justru unggul.
Apakah para tahanan KPK ini lupa sarapan? Apakah para koruptor ini sudah tobat? Apakah mereka sudah menyadari bahwa korupsi itu dosa yang akan mendekatkan mereka ke neraka? Kemenangan Ahok di TPS rutan KPK ini bisa jadi merupakan bukti bahwa sejahat-jahatnya manusia yang maling duit rakyat, ia masih punya hati nurani untuk memilih orang baik menjadi pemimpin Jakarta.
Ketiga, tentang satu lembaga survei yang menempatkan Ahok-Djarot pada posisi buncit sekitar empat bulan lalu. Paslon nomer 2 hanya mendapat 10,6 persen suara. Lembaga survei ini menempatkan paslon Agus-Sylvi di posisi paling atas. Lembaga survei tersebut adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI) milik Denny JA. Sejak November sampai debat terakhir, LSI bisa disebut paling beda hasil perkiraannya dibanding lembaga-lembaga survei lain.
Memang itu hak mereka untuk beda, seperti halnya TV One saat Pilpres 2014. Tapi, kalau mau beda, jangan terlalu aneh juga perbedaannya. Gagal paham kenapa suara Ahok hanya 10,6 persen meskipun masih berupa angka prediksi awal yang liar. Di hari pemilihan, tampaknya LSI telah mendapat semacam hidayah. Mungkin LSI tahu bahwa berbeda itu tidak enak kalau urusan survei karena lembaga survei ada banyak.
Kalau beda sendiri akan ketahuan dengan jelas rekayasanya dan akhirnya penyesatan yang dilakukan si lembaga survei. LSI sepertinya sadar bahwa survei itu berbeda dengan esensi kebhinekaan, bahwa berbeda-beda tapi tetap satu. Tapi kalau lembaga survei hasilnya paling berbeda sendiri itu adalah bukti dari kebohongan. Patut diucapkan selamat kepada LSI karena sudah kembali ke jalan yang benar.
Itulah tiga pemantik tawa di hari pencoblosan kemarin. Semoga kita bisa memaknai tiga lawakan tersebut sebagai hikmah hiburan di balik panas dan emosionalnya penyelenggaraan Pilkada DKI 2017. Sekali lagi hidup harus terus berjalan dan tak sekadar tentang pilkada. Agus pun akan tetap hidup dan tetap kaya meskipun gagal melaju ke putaran dua. “Jatim… tunggu aku ya..!”