Agar Pesan Ditaati Remaja, Berikan Pengalaman Nyata tentang Konsekuensi Perilakunya

Agar pesan diterima remaja, berikan pengalaman nyata tentang konsekuensi buruknya pada mereka.
Agar pesan diterima remaja, berikan pengalaman nyata tentang konsekuensi buruknya pada mereka.

RAB.com (JAKARTA): Riset menunjukkan bahwa remaja cenderung lebih tidak mempedulikan informasi yang bisa memberi petunjuk untuk mempertimbangkan lagi keputusannya yang berisiko. Fakta ini membantu menjelaskan mengapa kampanye penjelasan tentang perilaku berisiko seperti penyalahgunaan obat hanya sedikit efeknya atau kurang berhasil.

Hal ini juga menjelaskan menyetir sembrono, kecanduan alkohol dan obat yang lazim diketahui lebih sering dilakukan oleh remaja daripada orang dewasa. Penelitian perilaku impulsif ini memberi pemahaman baru terhadap keputusan-keputusan berisiko yang diambil oleh remaja.

“Jadi bukan masalah remaja secara kognitif tidak mampu memproses keputusan berisiko tentang satu hal. Mereka gampangannya hanya terdorong untuk mencari pengalaman baru dan mencoba segala hal baru,” kata penulis utama laporan penelitian Wouter van den Bos, yang juga peneliti di Center for Adaptive Rationality at the Max Planck Institute for Human Development.

Hasil penelitian, kata van den Bos seperti dikutip situs Scitechdaily.com akhir Januari lalu, menunjukkan bahwa anak dan remaja relatif kurang tertarik pada informasi yang bisa membantu mereka untuk memperhitungkan berbagai risiko terkait apa yang dilakukannya. Mereka, lanjutnya, kurang termotivasi untuk mencari informasi yang berguna dan lebih mampu menoleransi atas tiadanya pengetahuan itu.

Pola-pola perilaku mengambil risiko (risk-taking) pada remaja diamati dalam penelitian eksperimental sebelumnya sangat jauh menyimpang dari perilaku yang terlihat dalam kehidupan nyata. Pada sejumlah eksperimen awal di laboratorium, partisipan biasanya diberi semua informasi yang mereka perlukan untuk membuat satu keputusan.

Namun saat remaja diuji untuk memutuskan dengan bereksperimen dengan obat-obatan atau melakukan hubungan seks tanpa pengaman, sangat jelas bahwa mereka hanya punya gagasan samar terkait berbagai konsekuensi yang bisa dialami terkait perilakunya itu. Dan tampaknya mereka cukup menerima dan tak memasalahkan berbagai konsekuensi itu.

Dalam kondisi tersebut, mereka sering punya kesempatan untuk tahu lebih jauh tentang berbagai konsekuensi sebelum membuat satu keputusanatau jelasnya mereka bisa jelas melihat sebelum melangkah. “Penelitian perkembangan kami adalah yang studi eksperimental pertama yang yang menggunakan tugas-tugas eksperimental yang menyediakan peluang pada pengambil keputusan untuk mengurangi ketidakpastian dengan mencari lebih banyak informasi,” kata van den Bos.

Dalam percobaan, 105 anak, remaja, dan dewasa muda berumur 8–22 tahun memainkan berbagai jenis undian, masing-masing menawarkan peluang memenangkan uang dalam jumlah tertentu. Ada pemain yang punya informasi lengkap tentang nilai hadiah dan peluang untuk menang (pilihan risiko), ada yang diberi tahu nilai hadiah tapi tak punya informasi lengkap tentang peluang menang (pilihan ambiguitas), dan ada sama sekali tak diberitahu tentang nilai hadiah maupun peluang menang tapi punya kesempatan untuk mengakses informasi lebih lanjut (pilihan ketidakpastian). Sebagai informasi tambahan, partisipan ditanya tentang perilaku mengambil risikonya di dunia nyata.

Tampak jelas bahwa remaja lebih siap menerima ambiguitas dan juga mencari lebih sedikit informasi dalam konteks ketidakpastian. Penerimaan terhadap ketidaktahuan ini memuncak pada usia 13-15 tahun. Berbeda dengan pilihan remaja dalam konteks lengkapnya informasi , perilaku mereka terkait ambiguitas dan ketidakpastian juga berkorelasi dengan pengakuannya sering mengambil risiko dalam perilaku di dunia nyata.

Hasil temun studi ini juga bisa menjelaskan mengapa kampanye informasi yang didesain untuk mendidik anak muda tentang adanya risiko pada perilaku tertentu—seperti penyalahgunaan obat—sering hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Bahkan saat informasinya sudah tersedia dan mudah didapat, para remaja ini hanya menunjukkan sedikit motivasi untuk mempedulikannya.

“Jika kita sungguh ingin satu pesan dipahami dan diterima remaja, kita perlu mempertimbangkan pemahaman ini saat merancang satu intervensi,” kata anggota tim penulis Ralph Hertwig, direktur Center for Adaptive Rationality di lembaga yang sama. “Pilihan menjanjikan untuk kampanye informasi yang ditujukan kepada para remaja adalah dengan memberi kesempatan untuk mengalami konsekuensi atas perilaku berisikonya, misalnya dalam lingkungan virtual,” tambah Hertwig.