Bagaimana Melihat Keragaman Hasil Survei Pilkada

spy

RAB.com (JAKARTA): Bagaimana melihat keragaman hasil survei pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta kembali menjadi topik hangat. Tak heran karena beberapa survei satu sama lain hasilnya berbeda: ada yang memenangkan pasangan calon (paslon) nomer 1, memenangkan paslon 2, atau paslon 3, dan ada yang netral.

Hasilnya terkesan membabi-buta karena jelas beberapa lembaga survei yang dianggap kredibel mengumumkan hasil yang cenderung sama: bahwa setelah debat kedua paslon 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saaiful Hidayat  diunggulkan menjadi gubernur-wakil gubernur. Ada yang jelas menyatakan  memenangkan paslon 1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan ada yang memenangkan paslon 3 Anies Baswedan- Sandiaga Uno.

Hasil ini pun ramai diperbincangkan. Tak pelak semua paslon memberikan argumentasi pembenaran masing-masing, dan sepertinya lepas dari substansi tentang bagaimana survei dilakukan sehingga bisa mendapatkan hasil seperti itu. Survei adalah cara memperkirakan dan menjelaskan pilihan warga atas calon berbasis sampel yang diambil secara ilmiah. Survei mengungkap kenapa calon dipilih dan faktor penguat atau pelemahnya.

Data itu penting untuk menyusun strategi  dan publik juga mendapat informasi yang bernilai. Untuk landasan pengetahuan, survei selalu berdasarkan hasil analisis statistik untuk menunjukkan siapa yang menang kalau pemilihan dilakukan pada saat survei. Yang mesti diingat bahwa survei dilakukan dalam konteks penelitian ilmiah yang biasanya untuk menunjukkan adanya perbedaan (komparasi) dan adanya hubungan (korelasi) antar ubahan (variabel).

survei1-r

Dalam survei pilkada biasanya variabelnya adalah si pasangan calon (paslon) yang di DKI Jakarta ada tiga. Tiga paslon itu ditanyakan kepada responden mana yang akan dipilih. Pertanyaan dasarnya sesederhana itu dengan hasil jawaban yang juga diberi perlakuan sederhana yaitu dengan membuat tabulasi frekuensi atau sebanyak apa dia dipilih oleh orang yang menjadi responden survei.

Bila desain penelitiannya lebih rumit juga ditanyakan alasan responden kenapa memilih paslon tertentu, juga dicatat rincian identitas dan latar belakang responden seperti agama, pendidikan, dan status sosial-ekonomi. Kalau belum atau tidak mempunyai keputusan tentang siapa yang akan dipilih dia masuk ke kelompok responden ke-4 yang belum atau tidak mendukung siapapun selain kelompok yang memilih paslon 1, paslon 2, atau paslon 3.

Rincian identitas dan latar belakang responden selanjutnya bisa digunakan sebagai variabel baru untuk menelisik lebih jauh kenapa responden memilih paslon tertentu. Berbagai variabel itu bisa digunakan untuk menjelaskan kenapa survei pada tanggal sekian setelah debat hasilnya paslon tertentu yang menang. Kemungkinan penjelasannya didapat dari berbagai variabel lain kemungkinan memang ada hubungannya, seperti paslon 1 ternyata dipilih berdasarkan agama.

Sedangkan soal perbedaan hasil, semuanya tergantung pada cara pengambilan sampel survei-nya dilakukan secara taat asas atau tidak. Bila katakan lembaga A menggunakan metode stratified-proportional random sampling, yang dilakukan mestinya memang melakukan pengambilan sampel secara acak dan proporsional serta bertingkat. Misalnya sejak dari tingkat kota, kecamatan, kelurahan, RW, sampai RT dilakukan pengambilan sampel responden secara acak,

Dari enam wilayah tingkat kota di DKI Jakarta kalau dipakai semua berarti pengambilan acaknya mulai dari kecamatan, lalu diambil kelurahan mana yang muncul atau terambil sebagai sampel, terus hingga ke RW hingga RT dan sampai warga yang akhirnya terpilih untuk menjadi responden yang akan menjawab berbagai pertanyaan yang ada dalam angket yang sudah disiapkan lembaga survei.

survei-r

Tahapan ini memang rawan jadi masalah karena bisa saja suatu lembaga melakukan sampling rekayasa atau tak sepenuhnya random sampling, misalnya dengan memilih warga daerah (kelurahan-RW-RT) tertentu sebagai responden. Atau bahkan yang lebih parah respondennya sepenuhnya direkayasa atau malah fiktif sehingga jawaban yang diberikan sesuai dengan hasil kecenderungan yang diinginkan untuk memenangkan paslon tertentu demi pencitraan.

Jadi semuanya tergantung pada lembaganya yang sebenarnya tetap bisa ditentukan sejauh mana “kejujurannya” antara lain dari umur lembaganya, siapa sosok yang ada di balik lembaga, dan sejauh mana keanehan atau penyimpangan hasilnya dibandingkan rata-rata hasil dari beberapa lembaga yang sudah dianggap kredibel. Patokan gampangnya kalau nama lembaga dan sosok di baliknya masih baru terdengar, makin besar kemungkinan hasil surveinya adalah pesanan atau kurang kredibel.

Dalam ungkapan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya membedakan mana survei yang serius dan mana yang asal-asalan bisa dilihat dari sekurangnya tiga hal. “Lihat rekam-jejak lembaganya, bagaimana kompetensi personelnya, lalu desain pertanyaan serta metode pengumpulan dan pengolahan datanya. Kuncinya adalah kredibilitas,” tandas Yunarto.

Mungkin memang menyederhanakan masalah karena mencoba meneropong kecenderungan hasil pemilihan oleh seluruh (populasi) penduduk Jakarta yang punya hak pilih berjumlah sekitar 7 juta orang lewat 800 orang yang terpilih sebagai responden seperti dalam survei Kompas. Tapi setidaknya dengan tata cara dan metode yang dilakukan memang bisa dilihat kecenderungan warga Jakarta memilih paslon yang mana untuk jadi gubernur dan wakil gubernur.

Semakin dipatuhi metodologinya semakin kecil perbedaan antara hasil aktual pilkada dan hasil survei. Secara umum mungkin terlalu naif untuk menggabungkan semua hasil dari beberapa lembaga untuk dicari rata-ratanya guna mendapatkan angka yang paling dekat menggambarkan kecenderungan realitas sebenarnya. Tapi setidaknya masih ada setitik keyakinan bahwa ada lembaga survei yang relatif netral karena memang tak punya kepentingan apapun selain memotret kondisi yang sebenarnya seperti survei yang dilakukan Kompas.