Banyak Orang Percaya Hoax karena Lebih Mudah Dicerna

hoax

RAB.com (JAKARTA): Banyak orang percaya pada hoax karena lebih mudah dicerna dan masuk ke memori atau ingatan di otak daripada harus bersikap kritis dengan menganalisis setiap informasi yang didapat.

“Sekaplipun di waktu kemudian muncul dan disajikan informasi-informasi baru, seperti klarifikasi atau pelurusan berita, ingatan otak tetap menarik informasi awal meskipun informasi itu salah,” kata David Rapp, psikolog dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat, baru-baru ini.

Inilah, ungkap Rapp, alasan mengapa orang mudah percaya dan menyukai berita palsu. “Orang cenderung berpikir mereka dapat berpegang pada kabar pertama. Padahal apa yang tersimpan dalam memori tidak lantas membuat informasi tersebut benar,” tulis Rapp dalam artikel di Psychology Today berjudul New Research Shows Why People Believe False Information.

Penyebaran berita palsu atau yang yang akrab kita kenal dengan sebutan hoax, kian tak terkendali. Berita hoax ramai bertebaran terutama di media sosial. Di Indonesia, hoax begitu marak belakangan terutama disebabkan situasi politik yang terus memanas.

Selain bikin pusing, berita hoax juga sangat mungkin menimbulkan gangguan psikologis. Kebenaran semakin sulit dibedakan. Bahkan, berita hoax cenderung menjadikan seperti kecanduan yang membuat penikmatnya semakin tersesat ke dalam sesuatu yang tidak nyata.

Lebih lanjut studi Rapp juga menunjukkan orang menjadi kian sulit untuk menghindar dari informasi yang salah ketika informasi yang salah dan akurat beredar dan berkembang pada waktu yang bersamaan. Sebabnya, lanjut dia, kita dibombardir informasi sepanjang hari sehingga nyaris tak mungkin mengevaluasi secara kritis semua kabar yang dibaca atau didengar.

”Kita sering beralasan telah menggunakan sumber yang terpercaya. Bukan berarti malas untuk menguji kebenaran, meskipun itu pasti berhubungan erat dengan soal percaya dengan berita palsu,” ujar Rapp.

Maraknya hoax selain didukung perkembangan teknologi yang memudahkan penyebaran luas berita bohong. Selain juga kondisi masyarakat sendiri yang pada kenyataannya memang terpecah-pecah karena mempunyai referensi dan lingkungan pergaulan yang berbeda khususnya terkait keyakinannya.

Lepas dari terbatasnya akses terhadap informasi, soal terkait keyakinan ini makin parah karena tidak adanya kebiasaan membaca dan berpikir kritis. Tampaknya pengaruh dari budaya lisan masih begitu kuat. Yang sering disebut masyarakat Indonesia belum sempat terbentuk kebiasaan atau budaya membaca sudah dilanda budaya menonton (TV) yang begitu masif  dan kemudian dilanda tsunami informasi.

Hal yang tak kalah menentukan adalah soal pendidikan yang sepertinya memang menghasilkan produk yang bermasalah karena orang yang berpendidikan tinggi pun, yang dianggap cukup matang untuk menyimak dan menyaring kebenaran informasi, tak kebal dari serangan wabah mempercayai dan menyebarkan hoax.