Belajar dari Smartphone, Perilaku Berinternet Kita Tidak Produktif

medsoss

RAB.com (JAKARTA): Meskipun rata-rata masyarakat Indonesia berinteraksi gadget-nya sepanjang hari ternyata tidak menjamin penggunanya mampu menggunakan internet dengan baik. Sebaliknya, tidak menutup kemungkinan penggunanya justru mengalami kegagapan teknologi.

“Karena masyarakat Indonesia belajar internet dari smartphone, hasilnya bisa belanja online dan berswafoto,” kata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Dyna Herlina dalam konferensi pers tentang pemaparan hasil riset pemetaan gerakan literasi media oleh Jaringan Pegiat Literasi Media (Japelidi) di Yogya, Ahad (10/9).

Berbeda dengan masyarakat di sejumlah negara di Eropa yang belajar internet dari desktop. “Hasilnya, mereka mempunyai kemampuan membuat produksi,” kata Dyna seraya mencontohkan kegagapan digital yang dialami masyarakat antara lain riuhnya protes guru yang harus mempunyai alamat email sendiri untuk proses sertifikasi seperti dikutip tempo.co.

Contoh lainnya adalah penerapan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) tanpa memberikan pembekalan terhadap para guru. Akibatnya banyak guru kesulitan membuat soal UNBK. Juga penghapusan Information and Communication Technologies (ICT) dari kurikulum 2012. Serta belum meratanya sarana laboratorium digital di sekolah-sekolah.

Kegagapan digital itu tidak terlepas dari peran pemerintah yang belum maksimal. Peran pemerintah yang dimaksud adalah memberikan infrastruktur, pelayanan, dan pendidikan tentang media digital. Padahal, kata dia, Unesco telah meminta ratifikasi penerapan nomer induk transformasi digital pada 10 tahun lalu setelah didesak Inggris yang lebih dahulu menerapkan pada 1997.

Sedangkan negara Asia yang telah meratifikasi adalah India pada 2014. Tidak heran, India mempunyai industri media digital sendiri. Sedangkan Indonesia belum meratifikasinya. “Pemerintah kebanyakan ragu dan takut atas dampak digital. Padahal itu peluang,” kata Dyna.

Kegagapan digital itu membawa dampak negatif bagi masyarakat sendiri, seperti meningkatnya hoax, cyber bullying, pelanggaran privasi, hingga konten pornografi saat menggunakan media digital. “Negara tidak harus menunggu kebutuhan digital muncul. Tapi harus menyiapkannya,” kata Koordinator Japelidi Novi Kurnia.

Sejumlah rekomendasi

Sejumlah rekomendasi untuk pemerintah, akademisi, dan keluarga disampaikan dalam upaya mengatasi kegagapan digital itu. Untuk tingkat makro, membangun infrastruktur digital, menciptakan pengaturan penggunaan digital untuk masyarakat, pemberdayaan digital setiap warga negara seperti melalui gerakan literasi digital.

Di tingkat makro adalah akademisi melakukan reformasi digital di kelas-kelas, juga penerapan pendidikan berbasis digital. “Sedangkan di tingkat mikro adalah orang tua didorong menjadi mentor pendidikan digital untuk anaknya. Orang tua pun harus melek digital,” kata Novi yang juga Ketua Program Studi S2 Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Sebanyak 52 orang peneliti dari 26 program studi dan 24 perguruan tinggi di sembilan kota di Indonesia yang bergabung dalam Japelidi memetakan gerakan literasi digital. Pemetaan dilakukan atas respon meningkatnya hoax, cyber bullying, pelanggaran privasi, hingga konten pornografi saat menggunakan media digital.

“Kami ingin menjawab, apakah berbagai gejala yang meresahkan itu muncul karena literasi digital rendah?” kata Koordinator Japelidi.
Penelitian dilakukan para akademisi yang mayoritas berlatar belakang ilmu komunikasi itu di sembilan kota yang menjadi lokasi perguruan tinggi itu berada.

Hasilnya, sebanyak 338 kegiatan literasi digital telah dilakukan di Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Surakarta, Malang, Bandung, Banjarmasin, Bali, dan Jakarta. Penelitian terfokus di Jawa mengingat 65 persen pengguna internet adalah masyarakat di Jawa. Penelitian dilakukan sejak Januari hingga akhir Agustus 2017.

Dalam pemetaan itu diketahui pelaku kegiatan beragam, mulai dari perguruan tinggi, komunitas, LSM, media sekolah, korporasi, pemerintah, juga ormas. Bentuk kegiatannya meliputi sosialisasi, workshop, penggunaan alat peraga, pembentukan komunitas anti hoax, bahkan menjadikan literasi digital menjadi mata kuliah di beberapa kampus, seperti UGM, UNY, UMY.

Sedangkan sasaran kegiatan adalah anak-anak muda, orang tua, dosen, jurnalis, dan aktivis LSM.“Temuan di setiap daerah berbeda,” kata Dosen Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Firly Annisa.