RAB.com (JAKARTA): Drone serbaguna Cormorant siap dipasarkan pada 2020. Drone sebesar truk kecil yang bisa terbang otomatis tanpa pilot yang mengangkasa dan mendarat secara vertikal (VTOL – Vertical Take Off -Landing) itu mampu membawa kargo berbobot sekitar 550 kg sejauh 50 km.
Rafi Yoeli, pendiri dan CEO Urban Aeronautics perusahaan Israel yang memproduksi Cormorant mengatakan setelah melalui 15 tahun pengembangan, akhirnya kendaraan yang sebenarnya merupakan robot taktis itu siap dipasarkan pada 2020. “Mobil terbang Cormorant berkecepatan jelajah 185 km/jam. Harga per unitnya sekitar US$14 juta (Rp187 miliar),” ujar Yoeli menambahkan Cormorant menyelesaikan penerbangan solo otomatis perdananya pada November 2016.
Lewat Tactical Robotics, anak perusahaan, Urban Aeronautics mengkhususkan memproduksi kendaraan yang bisa untuk “lingkungan urban maupun alam liar” dan tengah menguji purwarupa (prototype) Cormorant yang semula disebut AirMule. Pergantian nama ini, kata Yoeli, menunjukkan bahwa wahana udara tak berawak (unmanned aerial vehicles) ini telah turun kelas sehingga keterbatasannya tetap sesuai dengan aturan internasional Missile Technology Control Regime (MTCR).
Berdasarkan panduan tersebut 35 negara yang telah bermitra sepakat untuk tidak membuat wahana tanpa awak yang dapat membawa beban 500 kg sejauh lebih dari 300 km. Aturan ini dibuat untuk mencegah wahana digunakan untuk membawa senjata nuklir. Yoeli menambahkan terkait hal ini Cormorant bisa digunakan baik sebagai kendaraan militer maupun untuk keperluan komersial.
Memperkecil kapasitas dari kemampuan desain awal pada AirMule yang disebut bisa membawa beban 1.500 kg, lanjut dia, artinya Tactical Robotics bisa menjual Cormorant ke pasar internasional. Tapi Yoeli mengatakan bahwa Cormorant baru siap dibeli pada tahun 2020 mengingat perusahaan masih perlu mengamankan investasinya dan mengembangkan produksi dalam skala penuh.
Yoeli memaparkan, pihaknya belum memenuhi semua standar Lembaga Aviasi Federal (FAA) AS. Uji terbang pada November lalu memunculkan masalah kecil tentang data berlawanan yang dikirim sensor dalam pesawat. Dengan 39 paten yang didaftarkan untuk menciptakan Cormorant, Yoeli agak khawatir dengan para pesaing yang berusaha mengejar keunggulan teknologinya.
Yoeli menambahkan Cormorant bisa dipakai mengirim perbekalan ke prajurit di atas gunung tanpa masalah. “Begitu pula untuk membawa ratusan kilo paket ke alamat orang yang memerlukan pengiriman dalam hitungan jam,” ujarnya seperti dikutip Time akhir tahun lalu.
Sementara itu, Urban Aeronautics dan perusahaan aeronautika Safran juga terus mendiskusikan kemungkinan membuat mesin yang lebih kuat, serta kelayakan konsep pesawat yang baru. “Safran dan Urban Aeronautics bermaksud mewujudkan kerja sama merintis dan mengembangkan tahap produksi dalam skala penuh dari pesawat VTOL atau wahana drone khususnya untuk dipakai di lingkungan urban baik untuk taksi udara, ambulans udara, dan fungsi transportasi lainnya.”
Cormorant menggunakan rotor internal untuk menggantikan baling-baling pada helikopter. Drone lebih aman dibanding helikopter karena benda ini bisa terbang di sela-sela bangunan dan di bawah sambungan kabel listrik. Rotor internal juga memungkinkan Cormorant mendarat di areal miring atau permukaan berbatu. Tak seperti helikopter dengan bilah rotor berputar yang memerlukan tempat pendaratan lebih luas dan jalur penerbangan.
Keuntungan lain dari penggunaan rotor internal yang dipatenkan sebagai fancraft adalah suara gaduh yang jauh berkurang. Mesin ini hanya menghasilkan suara berisik setengah kali dibanding rotor dan bilah helikopter konvensional. Bagi keperluan militer, karena rotornya terselubung juga mengurangi bocornya sinyal Doppler dan memudahkan desain badan pesawat untuk menghindari radar. Selain itu jejak panas yang dihasilkan mesin diminimalkan.