Google Turut Rayakan Kelahiran Pramoedya

 

Google ikut memperingati hari lahir satu-satunya penulis Indonesia yang pernah diusulkan mendapat Penghargaan Nobel.
Google ikut memperingati hari lahir satu-satunya penulis Indonesia yang pernah diusulkan mendapat Penghargaan Nobel.

RAB.com (JAKARTA): Situs pencarian Google hari ini ikut merayakan kelahiran sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang ke-92. Hal itu tampak jika Anda membuka laman Google hari ini, Senin, 6 Februari 2017.

Ketika membuka halaman web, di atas kolom pengetikan kata pencarian terlihat gambar pria berambut putih, berkacamata, mengenakan kaus, dan tengah mengetik. Gambar pria dengan latar belakang tuts mesin ketik kuno itu tersebut saat diklik akan langsung membuka sejumlah keterangan tentang sastrawan yang pernah jadi tahanan politik di Pulau Buru itu.

Pemilik nama asli Pramoedya Ananta Mastoer sepanjang hidupnya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Dia lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Selama masa pendudukan Jepang Pram bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia sempat mengikuti kelompok militer. Sepanjang menjalani kehidupan militernya, ia menulis buku dan sejumlah cerita, termasuk saat ia dipenjara pada 1948 dan 1949.

Pram kemudian menjadi anggota Lekra sepulang dari Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya. Sejak saat itu, ia mulai banyak menulis kritik terhadap kinerja pemerintah dan korupsi di pemerintahan.

Pram juga mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada pemerintahan yang Jawa sentris dan terutama manusianya yang oportunis. Selain itu, ia mempelajari tentang etnis Tionghoa dan menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia berjudul Hoa Kiau di Indonesia.

Seusai peristiwa 1965, Pram ditahan pemerintah Soeharto karena dianggap prokomunis Cina karena tulisan-tulisannya. Buku-buku karyanya dilarang beredar. Ia juga ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan sebelum ditempatkan di Pulau Buru.

Pram dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 serta mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tapi masih dikenai status tahanan rumah di Jakarta hingga 1992. Ia juga menjadi tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999 serta wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur sekitar dua tahun.

Meski dilarang menulis dalam penahanannya di Pulau Buru, Pram justru menghasilkan karya serial empat kronik novel semifiksi sejarah Indonesia yang terkenal hingga sekarang. Karya master piece Pram itu memberikan gambaran cukup lengkap dan menggugah tentang pergerakan nasional Indonesia.

Kandidat nobelis

Pamoedya merupakan seorang penulis Indonesia satu-satunya yang pernah diusulkan untuk mendapat Nobel Sastra. Novel-novel tetralogi yang ditulisnya di Pulau buru, mengantarkannya masuk nominasi tersebut. Tetralogi Buru terdiri dari empat buah novel yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Pram menerbitkan 4 novel tersebut secara bertahap pada 1980-1988. Namun penerbitan tidak berjalan mulus karena larangan dari Kejaksaan Agung karena novel itu dianggap mengandung pesan Marxisme-Leninisme. Buku tetralogi ini sempat diedarkan dengan cara gerilya hingga memuncaknya gerakan reformasi pada 1998 yang menumbangkan pemerintahkan Soeharto.

Sebelum diterbitkan, cerita tersebut terlebih dahulu disingkapkan secara lisan pada rekan-rekannya selama berada di tahanan saat diasingkan di Pulau Buru pada 1965-1979. Dengan alat yang terbatas ia mulai menceritakan jilid pertamanya yaitu Bumi Manusia kepada para tahanan. Dan 2 tahun kemudian baru ia dapat melanjutkan menulis ketika beberapa tahanan memberikan mesin tik tua kepadanya.

Dalam berkarya, Pram sendiri menaruh harapan untuk Nobel. Pram sempat bergurau pada adiknya, Koesalah Soebagyo Toer mengenai bahwa ia akan mendapatkan Nobel di tahun 2004. Kejadian tersebut diceritakan Koesalah dalam buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer.

Tahun berikutnya, 2005 Pram juga disebut-sebut kembali masuk kandidat penerima Nobel Sastra. Namun ternyata penghargaan tersebut gagal lagi digenggamnya. Sejumlah isu pun muncul menanggapi kegagalan Pram. Diantaranya adalah penerjemahan karya Pram ke bahasa Inggris yang buruk sehingga estetika kesastraannya berkurang.

Tetralogi Buru bahkan memiliki nama internasional, The Buru Quartet. Penerjemah buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa merupakan pegawai Kedubes Australia di Jakarta. Meski demikian, karya Pram abadi sampai saat ini. Buku-buku Pram cetakan lama kini dibanderol ratusan ribu rupiah per eksemplar di tangan pedagang buku bekas.