RAB.com (JAKARTA): Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Ryaas Rasyid mengatakan, sejak dulu dirinya pesimistis sistem pemilihan umum secara langsung dapat menghasilkan sosok pemimpin ideal. Pasalnya, kata Ryaas, rakyat tidak memiliki kapasitas untuk menilai sebuah program yang disuguhkan juga integritas kandidat pemimpin yang maju.
“Maka kalau rakyatnya masih bodoh, ya enggak apa-apa mendapat pemimpin bodoh. Jangan harap mendapat pemimpin yang cerdas, kalau yang memilih saja bodoh. Jadi, terima saja nasib,” kata Ryaas dalam diskusi bertema Partisipasi Perempuan dalam Mendukung Agenda Demokrasi Pemilu Serentak Tahun 2019, di Jakarta, Senin (16/10).
Menurut Ryaas, dengan kondisi rakyat Indonesia yang seperti saat ini, lebih baik pemilihan umum dikembalikan ke sistem tidak langsung, yaitu dipilih oleh Majels Permusyawaratan Rakyat (MPR). “Saya sudah hopeless dengan sistem ini. Mau dapat pemimpin cerdas, berkompeten, semua itu batal dengan dipilih langsung oleh rakyat. Karena rakyat tidak bisa menilai itu,” ucapnya.
Dia mencontohkan hal konkretnya seringkali dalam sebuah kampanye terbuka, hanya sedikit rakyat yang benar-benar menyimak visi-misi ataupun program kandidat yang maju. “Sisanya sudah kepanasan, hanya menunggu door prize atau penyanyi dangdut. Tidak mungkin bisa menilai program,” tandasnya.
Dari sini, kata dia, penting sekali untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kesempatan tersebut, secara khusus Ryaas berpesan kepada audiens perempuan untuk mencerdaskan anggota keluarga dan komunitasnya. Caranya dengan membaca maupun menyimak dari berbagai sumber informasi guna menambah pengetahuan dan pemahaman sebagai warga negara.
Secara gamblang profesor Ilmu Pemerintahan ini juga tidak sepakat dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Mekanisme Pemilu maupun Pilkada langsung, kata dia, kurang efektif lantaran minimnya pengetahuan dan wawasan masyarakat pemilih dalam berdemokrasi.
“Dari dulu saya sudah tidak sepakat mengenai Pilkada langsung. Tapi, karena sudah terlanjur ya kita serahkan kembali tanggung jawabnya kepada pemerintah,” ujarnya. Menurut dia, pemerintah selama ini masih menutup mata terhadap fenomena politik uang dalam Pilkada maupun Pemilu.
Dia menilai masyarakat Indonesia saat ini masih belum memahami persoalan politik secara utuh. Pemilih, kata Ryaas, sangat mudah dibeli suaranya oleh beberapa oknum partai politik yang melakukan segala cara untuk memenangkan calon yang diusungnya. “Jadi, jangan mimpi bisa dapat pemimpin yang diharapkan selama masyarakat masih mau dibeli kedaulatannya,” paparnya.
Dia menilai, dalam mencari pemimpin melalui proses Pilkada atau Pemilu langsung di mana masyarakatnya masih minim pengetahuan dan wawasan mengenai politik, itu hanya menghasilkan demokrasi omong kosong belaka. “Pernyataan pemerintah yang menilai masyarakat sudah melek politik hanya sebatas klaim,” tukasnya.
Karena, lanjutnya, kehendak pemerintah untuk memperbaiki sistem demokrasi melalui pemilihan langsung tidak benar-benar dilakukan.