Kontraversi Produk Bedak Sebabkan Kanker Ovarium

Keputusan pengadilan agar perusahaan memberi ganti rugi masih dibanding.
Keputusan pengadilan agar perusahaan memberi ganti rugi masih dimintakan banding.

RAB.com (JAKARTA): Sebagian besar perempuan pasti pernah membubuh tabur bedak bayi di area sekitar genital. Namun akhir-akhir ini muncul isu tentang kaitan antara penggunaan bedak bayi untuk mengurangi kelembaban di area genital dan kanker ovarium. Pemicunya juri di Pengadilan Kalifornia, Amerika Serikat (AS), memenangkan gugatan Eva Echeverria terhadap Johnson & Johnson.

Pengadilan memerintahkan perusahaan itu membayar US$ 417 juta (sekitar Rp 5,5 triliun) kepada Echeverria. Perempuan 63 tahun itu mengklaim menderita kanker ovarium setelah menggunakan bedak bayi yang merupakan produk Johnson & Johnson setiap hari selama puluhan tahun di area genital.

Gugatan Echeverria terhadap perusahaan multinasional asal AS itu bukan yang pertama. Awal tahun lalu, pengadilan di Missouri memenangkan gugatan yang diajukan keluarga Jackie Fox terhadap perusahaan itu. Anak angkat Fox, Marvin Salter, melayangkan gugatan setelah Fox meninggal akibat kanker ovarium pada Oktober 2015.

Sebelum didiagnosis menderita kanker, Fox menggunakan produk Johnson’s Baby Powder dan bedak Shower to Shower setiap hari selama beberapa dekade. Pengadilan memerintahkan Johnson & Johnson membayar ganti rugi kepada keluarga Jackie Fox US$ 72 juta (sekitar Rp 954,5 miliar).

Echeverria menuding perusahaan besar itu menyembunyikan informasi dari masyarakat tentang risiko kanker pada pemakaian produk berbahan dasar talk. Namun pengacara Johnson & Johnson membantah hal ini. ”Kami mengajukan permohonan banding. Produk kami merupakan hasil penelitian ilmiah. Kami mendukung keamanan bedak bayi produk kami,” ujar perwakilan Johnson & Johnson seperti dikutip The Guardian.

Tak dijual di Indonesia

Sampai Agustus 2017, ada 4.800 gugatan serupa yang dilayangkan kepada perusahaan itu. Country Leader of Communications & Public Affairs PT Johnson & Johnson Indonesia, Devy Yheanne, mengatakan dua produk yang dipermasalahkan oleh para penggugat, yakni Johnson’s Baby Powder Cornstarch with Aloe & Vitamin E dan Johnson’s Baby Powder Calming Lavender & Chamomile, tidak dijual di Indonesia.

Dua produk bedak bayi itu hanya diedarkan di AS. Menurut Devy, semua produk berbasis talk yang dipasarkan di Tanah Air aman digunakan. ”Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara resmi telah menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena produk bedak bayi Johnson’s yang beredar di Indonesia dan ternotifikasi secara resmi di BPOM tidak mengandung bahan yang dapat memicu kanker,” katanya.

Beberapa hari setelah putusan yang dilayangkan keluarga Jackie Fox, BPOM menyatakan kedua produk tersebut tidak ada dalam data mereka. Produk bedak bayi tersebut tak mengandung bahan dilarang yang dapat memicu kanker sehingga masyarakat tak perlu waswas. Komposisi produk bedak bayi perusahaan tersebut umumnya adalah talk dengan kadar 98-99 persen.

Talk merupakan mineral alami yang ditambang dari tanah dan mengandung magnesium, silikon, oksigen, dan hidrogen. Mineral ini digunakan sebagai kosmetik sejak zaman Mesir kuno. Sampai abad ke-19, talk digunakan untuk mengatasi iritasi kulit akibat plester, juga mengatasi ruam popok. Selain bahan bedak, talk antara lain digunakan buat melapisi permukaan permen karet agar tak lengket, meningkatkan kejernihan minyak zaitun, dan melapisi tablet.

Devy mengatakan perusahaan lain juga menggunakan talk sebagai bahan dasar bedak bayi. Bahan ini telah resmi diterima untuk digunakan dalam produk kosmetik dan perawatan pribadi di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan Asia. Tak ada yang membuktikan talk berhubungan dengan kanker ovarium.

Tinjauan kembali terhadap bukti ilmiah yang diberikan penggugat pun tak cukup mendukung klaim bahwa talk dapat menyebabkan kanker ovarium. ”Selain itu, tak ada satu pun otoritas kesehatan pemerintah di dunia yang menyimpulkan bahwa talk menyebabkan kanker ovarium,” ujarnya.

Perlu penelitian lanjut

Menurut Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen BPOM Ondri Dwi Sampurno, umumnya bedak tabur yang beredar di Tanah Air berisi talk, mineral kaolin, logam stearat, zinc oxide, titanium dioxide, silikat, pati, pewarna, pewangi, antioksidan, dan pengawet. Semua komposisi ini diizinkan oleh BPOM.

BPOM antara lain menguji mikrobiologi dan logam berat yang bersifat toksik untuk menjamin mutu dan keamanan semua produk yang ternotifikasi. ”Bahan-bahan yang digunakan dalam suatu kosmetik dan bedak pada khususnya harus memenuhi persyaratan keamanan serta kemanfaatan sehingga dapat menghasilkan produk bedak yang aman, bermutu, dan bermanfaat,” katanya.

Salah satu bahan bersifat toksik yang dilarang BPOM adalah asbes. Mineral ini terbukti bisa menyebabkan kanker paru-paru. Kalau ada produk yang didaftarkan masih mengandung bahan ini, BPOM akan menolak proses notifikasinya. Penelitian International Agency for Research on Cancer (IARC), lembaga di bawah Badan Kesehatan Dunia (WHO), menyimpulkan bahwa talk yang mengandung asbes memang bersifat karsinogenik pada manusia.

Dalam bentuk alaminya, talk mengandung unsur asbes. Tapi, sejak 1970, di AS penggunaan talk harus bebas asbes.
Meski sudah terbebas dari asbes, hasil studi IARC juga menyimpulkan, berdasarkan bukti terbatas, penggunaan bedak di area genital mungkin bersifat karsinogenik.

Tapi, menurut dokter spesialis kebidanan dan kandungan Kartiwa Hadi Nuryanto, kesimpulan ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Lantaran belum jelas apakah memang benar kanker tersebut muncul karena penggunaan bedak atau masalah lain. Yang sudah terbukti menjadi faktor risiko antara lain usia, faktor genetik, obesitas, terapi sulih hormon estrogen, dan riwayat menderita kanker payudara.

Penelitian lanjutan terkait dengan penggunaan talk perlu dilakukan dengan mengambil subyek penelitian yang bersih dari faktor risiko kanker ovarium. Studi tersebut juga harus membandingkan antara subyek yang menggunakan talk di area vagina dan yang tidak. ”Sehingga jelas apakah benar berhubungan atau tidak,” ujar pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo ini.