Minat Baca Naik (Semu), Penjualan Buku Terus Turun

Membaca dan menulis di media sosial sedikit hubungannya dengan melek baca-tulis.
Membaca dan menulis di media sosial sedikit hubungannya dengan melek baca-tulis.

RAB.com (JAKARTA): Minat baca masyarakat meningkat, namun minatnya membeli buku terus menurun. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) kontradiksi ini terjadi karena adanya interaksi kuat antara masyarakat dan internet. Sementara seorang penulis menilai yang terjadi adalah peningkatan minat baca secara semu yang tidak membuat orang melek baca-tulis secara paripurna.

“Ikapi melihat minat baca meningkat, tetapi interaksinya dengan multimedia bukan hanya buku. Ada peningkatan minat baca tetapi berbasis daring. Interaksi yang kuat antara masyarakat dengan internet. Akibatnya saat ini minat masyarakat membeli buku sudah menurun,” kata Wakil Ketua Bidang Humas, Riset dan Informasi Ikapi Pusat, Indra Laksana, seperti dikutip situs Tempo, Selasa (25/4).

Materi-materi pada buku, lanjut dia, saat ini lebih mudah ditemukan di internet. Dengan kata kunci di mesin pencari, informasi yang diperlukan sudah terpampang di layar komputer atau perangkat genggam tanpa perlu buku dan membolak-balikkan halamannya. Karena itu bila dilihat dari sisi penerbit konvensional, Indra mengatakan volume penerbitan dan jumlah toko buku mengalami penurunan.

“Bahkan toko buku modern saat ini sudah berubah menjadi toko gaya hidup, bukan sekadar toko buku. Buku hanya engisi 40 persen ruangan, sementara 60 persen diisi produk-produk lain,” kata dia menambahkan meskipun secara umum penjualan buku mengalami penurunan, penerbit masih terbantu dengan pembelanjaan pemerintah yang dialokasikan melalui anggaran pendidikan.

Peningkatan anggaran pendidikan sebagian digunakan untuk membeli buku, baik buku pelajaran, pendamping maupun untuk koleksi perpustakaan. Ada alokasi pembelian buku kepada penerbit dari anggaran pendidikan. Namun meskipun menyebut ada kontribusi dari peningkatan anggaran pendidikan terhadap penjualan buku, Indra tidak bisa menyebutkan angka yang pasti.

“Tidak bisa diperkirakan karena angkanya tidak definitif. Harus dilihat setiap pencairan anggaran,” ujarnya.

Lima variabel melek baca

Namun, praktisi media sosial Iqbal Aji Daryono, tidak sepakat dengan asumsi bahwa kegiatan orang-orang dengan gawai mereka merupakan aktivitas membaca. Dalam tulisannya tentang Hari Buku Sedunia 23 April di detik.com, Iqbal secara berseloroh mendeskripsikan betapa saat ini dengan gawainya orang Indonesia terlihat sudah begitu getol membaca dan menulis sehingga sepertinya tak ada lagi masalah yang perlu dikhawatirkan.

Namun apa yang bisa didefinisikan dari aktivitas membaca, pekerja transportasi yang tinggal di Perth, Australia, ini mengatakan sejujurnya dia selalu bingung saat harus menjawab pertanyaan itu dan belum pernah sekalipun menemukan jawaban yang pasti. “Solusinya saya membuka kembali berita beberapa waktu lalu, yang mengabarkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam perkara literasi alias ke-melekbaca-an.”

Pemeringkatan tersebut dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU), Amerika Serikat (AS). Dalam situs CCSU, pemeringkatan bertajuk World’s Most Literate Nations itu mengambil lima variabel yaitu: surat kabar, perpustakaan, sistem pendidikan, hasil pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Yang agak mengejutkan, papar Iqbal, ternyata fasilitas perpustakaan di Indonesia nangkring di peringkat 36,5 (diposisikan di angka aneh itu karena setara dengan Tunisia, sehingga harus berbagi peringkat 36 dan 37 bersama-bersama). Dalam hal perpustakaan, peringkat Indonesia mengalahkan Singapura (59), Selandia Baru (39), Korea Selatan (42), Belgia (46), bahkan Jerman (47).

“Perpustakaan kita lebih baik dibanding perpustakaan di Jerman, tapi kenapa ranking literasi kita tetap rendah? Ya, sebab variabel-variabel lainnya membuat anjlok skor kita. Sistem pendidikan kita ada di level 54, output pendidikan di level 45, ketersediaan surat kabar baik cetak maupun online ada di level 55, dan akses komputer Indonesia (desktop dan laptop) terperosok di angka 60.” urai penulis buku Out of The Truck Box itu.

Menurutnya, sejumlah hal bisa dibaca dari data tersebut. Pertama, perpustakaan kita relatif banyak dan lengkap, tapi hanya segelintir orang yang mau berkunjung ke sana. Barangkali penyebabnya adalah sistem pendidikan yang levelnya cuma 54 itu tidak mampu membangkitkan gairah membaca buku yang tinggi. Atau ada sebab lain, yakni orang Indonesia lebih suka membeli buku sendiri daripada main ke perpustakaan.

Baca buku: harus

Kedua, meski data dari CCSU sangat aneh karena tidak menghitung ponsel dan tablet dalam variabel komputer, ternyata jumlah “koran” online yang banyak sekali di depan mata kita tidak dianggap sebagai bacaan yang layak. Ketiga, aktivitas “membaca” oleh CCSU masih tetap dimaknai sebagai hal-hal yang cenderung lekat dengan bacaan konvensional, yakni buku dan koran.

“Aktivitas membaca twitwar atau perdebatan di grup Whatsapp agaknya tidak masuk dalam hitungan mereka. Jadi, melihat realitas sosial yang berkembang di era medsos, kita bisa melihat bahwa tidak semua aktivitas membaca dapat mengantarkan kita kepada literasi. Terlalu banyak bacaan di era kekuasaan internet yang justru menjauhkan kita dari pengetahuan, kecerdasan, dan kebijaksanaan.”

Saking gampangnya internet menyebarkan tulisan, lanjut dia, bahkan tulisan sampah sebusuk apa pun bisa bertebaran dengan ganasnya. Lalu apakah perlu dirancang kampanye agar kita kembali kepada buku cetak konvensional, sembari meninggalkan bacaan yang limpah ruah di internet? “Tentu saja tidak. Zaman terus berubah, teknologi terus berkembang, dan siapa pun yang melawan teknologi akan mampus tergilas.”

Iqbal menyepakati CCSU yang meletakkan buku dan koran sebagai dua instrumen paling pokok dalam aktivitas membaca. Dalam hal ini dia lebih sepakat jika bacaan di internet, termasuk tulisan-tulisannya, diposisikan sebagai pengganti koran dan bukan pengganti buku. Posisi buku, menurut penulis buku Out of The Truck Box itu, sementara ini tetap tidak bisa dilenyapkan.

Dalam hal ini, kata dia, wujudnya bukan semata dalam artian buku tercetak karena ditulis di kertas atau berbentuk PDF bukan soal penting. Melainkan buku dalam makna tulisan yang mendalam, yang terperinci, yang membahas suatu hal ihwal dalam konstruksi pemahaman yang utuh. Seperti itulah, menurut bapak satu anak ini, makna buku yang semestinya dan perannya belum tergantikan.

“Tanpa fondasi kebiasaan membaca suatu hal secara utuh, kita jadi terkondisi menangkap informasi secara dangkal, sepotong-sepotong dan sambil lalu, untuk kemudian secara reaktif membuat respons atas cuilan-cuilan informasi itu. Pada akhirnya itu semua membentuk cara belajar kita, cara berpikir kita, bahkan membangun karakter kita sebagai manusia. Silakan buka linimasa di media sosial, dan Anda akan langsung menjumpai contoh-contoh nyata.”