Pecahan Rupiah Baru Tetap Dihantui Isyu Duit Palsu

RAB.com (JAKARTA): Penerbitan pecahan rupiah baru selalu dibayangi isyu pemalsuan bahkan di sepanjang umur uang itu digunakan sebagai alat tukar. Perlu selalu dilakukan sosialisasi tentang ciri uang asli dengan metode 3D (dilihat-diraba-diterawang) dan kontra isyu agar warga masyarakat tidak mudah tertipu.

Selalu dibayangi berbagai isyu meskipun sudah menerapkan teknologi sangat canggih pembuatannya untuk mencegah pemalsuan.
Selalu dibayangi berbagai isyu meskipun sudah menerapkan teknologi sangat canggih pembuatannya untuk mencegah pemalsuan.

Dari pengalaman selama ini, pengumuman pemerintah tentang pecahan uang baru itu sepertinya selalu ditantang para penjahat dengan aksi penipuannya. Tak tanggung-tanggung para penjahat ini membawa sampel duit yang diklaim asli yang sekilas representatif bentuk fisiknya disertai dengan unsur peyakin: duit bagian dari cetakan asli yang diterbitkan Bank Indonesia.

Unsur peyakin yang sering menjadi penentu suksesnya penipuan itu biasanya berupa bumbu untuk membujuk lewat cerita yang sangat tidak masuk akal sampai yang nyaris terkesan bisa diterima logika. Dari yang berbau klenik ala penggandaan uang Dimas Kanjeng, cerita tentang operasi intelijen ala James Bond, sampai cerita konteks besar tentang pertarungan elit atau rezim politik.

Tampaknya teknologi cetak super canggih untuk mencegah pemalsuan uang memang tak ada artinya di tengah masyarakat yang kepalanya masih dipenuhi dengan berbagai takhyul, skenario konspirasi, dan ketidakkritisan saat menghadapi sesuatu yang seperti mujizat. Bahkan sekelas doktor dan profesor pun ada tak bisa menghindar dan jadi korban soal pemalsuan uang tersebut.

Penulis setidaknya menyaksikan dua kisah nyata tentang korban penipuan pecahan seratusan ribu rupiah dalam tiga tahun terakhir. Yang satu pecahan 100.000 gambarĀ Soekarno-Hatta yang masih berlaku dan yang lain pecahan 100.000 berbahan mirip plastik yang berwarna dominan merah-hijau.

Modusnya pada kedua korban adalah diminta menukar kedua jenis duit pecahan 100.000 tersebutĀ dengan menyetor duit asli. Satu lembar duit yang disetor korban biasanya dijanjikan mendapat ganti tiga (3) hingga sepuluh (10) lembar duit yang diklaim juga asli dan bisa dibelanjakan. Dengan kata lain membeli duit dengan duit dan sering berapa yang didapat per satu lembar uang asli juga tergantung seberapa lihai menawar.

IMG_20150925_222754
Duit yang diberikan oleh penipu di akhir pertemuan yang dikesankan sebagai sampel barang yang akan diserahkan setelah dibayar.

Dalam dua kasus itu si penipu sempat bertemu langsung dengan para korban dan menunjukkan sampel fisik duit yang akan dibeli. Namun setelah uang asli diserahkan dan ditransfer si penipu tak bisa lagi dihubungi atau ditemui. Yang lewat transfer ternyata juga ke satu rekening yang hanya dipinjam. Bukan milik si penipu.

Kasus penipuan lewat rekening tersebut sejak akhir tahun 2016 sudah ditangani Polresta Depok. Namun penyelidikan kasus seperti mentok karena si pemilik rekening tidak tahu lagi ke mana harus menghubungi atau menemui peminjam rekening. Apalagi orang itu adalah teman dari tante si pemilik rekening.

Penyelidikan Polresta Depok untuk sementara mentok.
Penyelidikan Polresta Depok untuk sementara mentok.

Ihwal yang ingin ditegaskan di sini adalah betapa kerawanan akibat berbagai isyu simpang siur yang telah disebutkan (sejak penggandaan klenik, sampai operasi intelijen) perlu dipikirkan penanganannya oleh aparat berwenang. Kongkretnya mungkin ada hotline atau nomer khusus yang gampang dihubungi masyarakat yang butuh penjelasan tentang isyu-isyu tersebut.

Selain pasti harus ada publikasi terus menerus seputar keaslian (maupun kepalsuan) uang yang diterbitkan pemerintah. Hasil yang diharapkan tentu saja agar tertanam di benak masyarakat bahwa pemerintahlah, dalam hal ini Bank Indonesia, yang merupakan satu-satunya penerbit uang yang sah. Cerita selain itu adalah tidak benar dan diduga kuat (bahkan dipastikan) sebagai upaya penipuan.

Saat upaya kontra isyu telah dilakukan pemerintah ke berbagai kalangan masyarakat secara berulang kali di semua media (cetak-elektronik-online/internet), namun tetap saja ada yang menjadi korban penipuan, kemungkinan besar masalahnya memang karena keserakahan dan ketamakan yang mengalahkan akal sehat. Pemerintah tak bisa lagi disalahkan meskipun tetap harus membantu penuntasan perkara pidananya.