RAB.com (JAKARTA): Cecaran kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin di sidang penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang adanya komunikasi yang mendesak diterbitkannya fatwa MUI membuat Ketua Umum Partai Demokrat dan Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa perlu melakukan klarifikasi di depan media massa kemarin.
SBY mengakui bahwa pada tanggal 7 Oktober 2016 ada komunikasi antara dirinya dengan Ketua MUI saat pasangan calon gubernur dan wakilnya Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni bertemu dengan Ma’ruf Amin. “Saat itu salah satu staf lewat handphone-nya menghubungi saya. Dan saya berbicara dengan Ketua MUI,” kata SBY yang dalam kesempatan itu menyatakan merasa dirinya disadap, haknya diinjak-injak, dan minta keadilan pada pemerintah.
Menurut SBY, percakapan dia dengan Ma’ruf Amin memang ada. Namun, percakapan itu tidak terkait tugas Ma’ruf sebagai Ketua MUI. Saat bertemu pasangan Agus-Sylvi, posisi Ma’ruf sebagai Rois Aam PBNU. “Tidak ada kaitan dengan kasus Pak Ahok, dengan tugas MUI, dengan tugas mengeluarkan fatwa,” ujar SBY dalam konferensi pers di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Rabu (1/2).
Menurut SBY, MUI merupakan majelis yang membuat fatwa atau sikap keagamaan dengan cara dimusyawarahkan terlebih dulu dan tidak tergantung kepada Ma’ruf sebagai ketua. “Silakan ditanyakan apakah pendapat keagamaan MUI itu lahir di bawah tekanan SBY atau di bawah tekanan siapa pun. Saya kira mudah sekali, daripada nanti saya dikira defensif, silakan tanya langsung,” kata dia.
Tim kuasa hukum Ahok, terdakwa kasus dugaan penodaan agama, menganggap SBY telah mengakui bahwa dirinya memang meminta MUI menerbitkan fatwa terkait ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Salah satu anggota tim, Humphrey Djemat, mengatakan hal itu saat menanggapi pernyataan yang disampaikan SBY dalam konfrensi persnya.
“Teman-teman pers perhatiin keterangan Pak SBY terhadap percakapan antara dirinya dan Pak Ma’ruf Amin. Dengerin.. ada.. clear. Tapi bagi kami percakapan ya ini mengeluarkan fatwa. Itu yang jadi krusial kan? Itu saja,” kata Humphrey saat ditemui di Jalan Cik Di Tiro, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
Dalam persidangan kasus dugaan penodaan agama oleh Ahok pada Selasa, Humphrey menyatakan pihaknya menanyakan kepada Ketua MUI Ma’ruf Amin mengenai adanya pembicaraan antara Ma’ruf dan SBY pada 6 Oktober 2017, tepatnya pada sekitar pukul 10.16. Dalam pembicaraan itu, SBY meminta agar Ma’ruf menerima kedatangan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang diusung Demokrat, di Kantor PBNU.
Humphrey juga menyebut SBY meminta Ma’ruf agar MUI segera menerbitkan fatwa terkait ucapan Ahok. Dalam persidangan, Humphrey mengonfirmasi dua hal itu kepada Ma’ruf tetapi dibantah. “Tiga kali ditanya dia bilang tidak. Ya kita kan enggak bisa paksa,” ujar Humphrey menambahkan pertanyaan yang disampaikan didasarkan pada bukti. Namun, ia enggan menyebutkan bentuk bukti yang dimaksudkan.
Menurut Humphrey, pihaknya akan membeberkan bukti yang dimaksudkan itu di persidangan. Yang pasti, kata dia, bantahan Ma’ruf di pengadilan kemarin memiliki konsekuensi hukum. “Ada konsekuensinya kalau ketahuan ternyata tidak benar. Tentu bukan ancaman hukuman yang ringan. Berat itu. Itulah makanya,” ujar Humphrey.
Organisasi GP Ansor yang tak terima sesepuhnya diperlakukan bak terdakwa karena dicecar tim kuasa hukum Ahok ketika menjadi saksi di pengadilan mengatakan siap bergerak dan kondisi siaga satu. Suasana agak mereda saat Ahok mengungkapkan pernyataan maafnya karena di persidangan seperti memojokkan Ketua MUI Ma’ruf Amin.
Ma’ruf pun memberikan maafnya serta menyatakan agar umat tenang dan tidak terprovokasi. Pernyataan teduh yang sedikit banyak dipengaruhi pertemuannya dengan Menko Perekonomian dan Kemaritiman Luhut B. Panjaitan, Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan, dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Teddy Lhaksmana yang datang bersilaturahmi ke rumahnya.
Imunitas dan sadapan pun tak salah
Tampaknya pertarungan lewat pembentukan opini untuk mempengaruhi keputusan warga untuk memilih pasangan calon gubernur dan wakilnya masih akan terus berlanjut sampai hari pencoblosan pada 15 Februari mendatang. Yang menarik tim kuasa hukum Ahok di tengah desakan GP Ansor dan protes beberapa pihak lainnya mengatakan punya hak imunitas dalam mengungkap fakta apapun di persidangan untuk membela kliennya.
“Selama di pengadilan dan diperbolehkan oleh hakim, kami punya hak imunitas. Nah ini tolong dijelaskan ya, kuasa hukum itu punya hak imunitas,” kata Humphrey. Dia menambahkan, saat persidangan, kuasa hukum berhak mengajukan pertanyaan ke saksi yang hadir dalam persidangan, tak terkecuali terhadap Ma’ruf. “Tapi kalau di luar dia harus hati-hati bicara. Makanya ini sekarang saya hati-hati bicaranya,” ujarnya.
Humphrey mengatakan, sepanjang hakim maupun jaksa tak menegur, kuasa hukum bisa bertanya mengenai apapun ke saksi. Dan hal itulah yang terjadi saat sidang kemarin. “Hakim kan ingin tahu juga kan, menggali kebenaran materi. Terus apa enggak boleh bertanya ke Pak Ma’ruf? Kalau tidak boleh tanya berarti percuma dong ada penasihat hukum di sana,” kata Humprey.
Sedangkan dari partai pendukung utama Ahok juga memberikan pembelaan terkait pernyataan SBY yang meminta transkrip rekaman dan mendorong polisi untuk mengusutnya. “Kami yakin Ahok dan tim hukumnya memiliki bukti kuat bahwa SBY pernah menelepon Ketua Umum MUI,” kata Junimart Girsang, Kepala Badan Bantuan Hukum PDI-P kemarin.
Sebagai pihak yang menyewa tim kuasa hukum untuk membela Ahok dalam kasus penistaan agama, Junimart yakin apa yang disampaikan di pengadilan valid. PDI-P, ungkap Jurnimat di Kompleks Parlemen, Senayan, akan mengkaji kemungkinan untuk meminta tim kuasa hukum membuka bukti itu. “Nanti kita lihat, kan kita rapat, kami akan melakukan pengkajian.”
Junimart mengaku belum melihat barang bukti adanya hubungan telepon SBY dengan Ma’ruf Amin itu. “Saya belum melihat, tetapi saya meyakini Pak Ahok dan kuasa hukum tidak asal bicara. Kami yakini mereka sudah punya bukti. Dalam meeting-meeting kita selalu katakan mereka harus bicara yang benar, sesuai dengan fakta.”
Pihak Ahok tidak menyebut bukti soal telepon SBY dan Ma’ruf adalah hasil sadapan. Namun jika memang ternyata itu hasil sadapan, anggota Komisi III DPR itu menilai tidak ada yang salah.
“Kan nggak ada menyadap itu ilegal sepanjang tidak digunakan untuk kejahatan. Apa itu ilegal? Kan tidak,” ujarnya menambahkan bahwa pengertian penyadapan ada dua: pertama oleh penegak hukum dalam rangka mengungkap kejahatan, dan kedua, penyadapan untuk kepentingan sendiri.
“Dalam rangka mempertahankan hak dan kepentingan hukum saya. Kan tidak melanggar, kecuali penyadapan itu digunakan untuk memeras orang. Itu tidak benar,” kata Junimart.
Dia mencontohkan bukti penyadapan yang pernah juga terjadi dalam kasus ‘papa minta saham’, yang menerpa Setya Novanto. Namun bukti itu digugurkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi atas tuntutan yang diajukan Novanto.
“Itu (bukti yang gugur dalam kasus Novanto) maksudnya tidak bisa diajukan sebagai bukti. Bukan dilarang. Sama seperti misalnya Indomart, Alfamart pakai CCTV, itu dilarang? Kan tidak. Tapi untuk kepentingan sendiri. Kalau ada apa-apa, tinggal dikasih ke polisi,” papar Junimart.
“Sama seperti Pak Ahok, dalam rangka untuk pembelaan, untuk hak dalam pidana hukum dia, dia sampaikan saya punya ini lho. Nah tergantung hakim mau terima atau tidak?” tambahnya.
Persilakan upaya hukum SBY dan sinyal salah
Junimart pun mempersilakan jika SBY ingin menempuh upaya hukum bila merasa tidak terima atas pernyataan Ahok dan tim kuasa hukumnya. Dia yakin pihak Ahok tidak melakukan penyimpangan.
“Ya silakan saja, kan ada jalurnya. Ada kepolisian, ini kan pidana umum. Polisilah yang harus bergerak meski tak ada pengaduan. Ini negara hukum. Hukum adalah panglima. Pernyataan Ahok itu bukan penyimpangan, bukan kejahatan. Apa salah dalam rangka pembelaan saya, (maka) saya ungkap,” beber Junimart.
“Kenapa? Ada pengaruh, misalnya. Silakan hakim akan menguji keterangan itu. Kalau hakim meyakini, hakim akan memperdalam soal penyimpangan,” imbuh dia.
Mengenai adanya banyak protes karena Ahok terkesan ‘menyerang’ Ma’ruf, Junimart meminta publik bisa adil dalam melihat perihal ini. Dia berharap hukum bisa berjalan dengan independen. “Kita jangan dipengaruhi oleh tekanan, dipengaruhi oleh tokoh. Hukum itu harus independen, tidak boleh diintervensi oleh siapa pun,” pungkasnya.
Kenyataannya protes keras oleh beberapa pihak tersebut bagi sebagian orang dianggap bisa memberi sinyal salah kalau tak mau disebut mengalihkan dari substansi pokok masalah yaitu soal kejujuran dan kebenaran. Bahwa ulama sepuh bisa berbohong atau sekurangnya berkata tidak sesuai fakta.
Boleh ngomong apa saja asal ada massa pendukungnya. Juga boleh menggunakan kekuasaan seenaknya asal dianggap merespons kehendak masyarakat. Kondisi yang sebenarnya rekayasa karena hanya melihat adanya demo atas nama agama yang sangat mungkin hanya setting-an dan disponsori pihak berkepentingan, tanpa melakukan konfirmasi.
Jadi memang ironis kondisinya karena yang jelas muncul kegaduhan yang mengarah pada perpecahan di masyarakat gara-gara keputusan yang dari satu tinjauan memang tidak bijak, bahkan dipertanyakan keabsahannya. Dan parahnya masyarakat sendiri memang perlu diberdayakan agar bisa bersikap sepatutnya, tak hanya membebek dan seperti menggunakan kacamata kuda membela apapun yang dilakukan sosok pimpinan atau panutannya.
Bisa jadi benar membela ulama. Tapi seperti apa yang terjadi dalam berbagai kelompok masyarakat lainnya, jelas tak lepas dari keniscayaan bahwa ulama pun ada bermacam-macam. Dari yang memang berilmu dan teduh dalam mengajak kepada kebaikan, yang biasa saja, yang matre, sampai yang mengandalkan gerakan massa dan menghalalkan cara dengan menggunakan kekerasan (fisik maupun verbal).