Peringkat ke-2 Sanitasi Terburuk, Indonesia Rugi Rp 56,8 T per Tahun

Sekitar 40% penduduk Jakarta masih BAB Sembarangan, karena saluran dari toilet langsung dibuang ke sungai.
Sekitar 40% penduduk Jakarta masih BAB sembarangan karena saluran dari toilet langsung dibuang ke sungai.

RAB.com (JAKARTA): Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia menempati peringkat ke-2 di dunia sebagai negara dengan sanitasi terburuk. Sebab, sebagian besar masyarakat melakukan BAB (buang air besar) sembarangan di berbagai tempat.

“Akses sanitasi terendah Jakarta peringkat 2 di dunia. Mohon maaf, ini masalah BAB agak sedikit jorok. BAB melakukan sembarangan, tapi ini Indonesia peringkat 2 di dunia penduduk yang masih buang air besar sembarangan setelah India,” kata Bambang di kampus Universitas Indonesia, Depok, Kamis (5/10).

Bambang mengaku heran terhadap penduduk Indonesia yang bersaing dengan India soal masalah BAB tersebut. Seharusnya, beberapa kota menciptakan sanitasi di berbagai daerah. “Saya kira cuma India dan penduduknya jauh lebih besar, tapi kok kita bersaing dengan mereka soal BAB. Ini terjadi kenapa? Tidak disediakan sanitasi di banyak kota,” ujar Bambang.

Selain itu, kata Bambang, banyak sekolah dasar di Indonesia tidak dilengkapi fasilitas sanitasi. Jadi mereka yang akan melakukan BAB harus pulang ke rumah terlebih dahulu. “Banyak SD di Indonesia tidak dilengkapi fasilitas sanitasi, kalau cowok bisa jongkok, kasihan mereka yang cewek jongkok harus pulang ke rumah. Jadi ini hak dasar Indonesia belum menjadi perhatian,” ucapnya.

Targetnya tahun 2019

Pada akhir Desember 2015 pemerintah diberitakan menargetkan seluruh penduduk Indonesia memiliki akses sanitasi dan air bersih pada 2019 . Akses sanitasi itu termasuk memiliki sarana untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK) yang memadai. Saat ini masih ada lebih dari 51 juta orang yang buang air besar sembarangan (BABS).

Kementerian kesehatan (Kemenkes) mengakui puluhan juta warga Indonesia masih tidak punya akses MCK, dan berperilaku buang air besar sembarangan. “Kira-kira 51 juta yang sudah menggunakan akses Buang Air Besar. Yang 67% punya akses itu artinya pinjam ke tetangga, jamban komunal, atau menggunakan cubluk untuk sarana BAB-nya,” kata Eko Saputro, Kasubdit Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar Kemenkes.

Sedangkan sisanya, lanjut Eko,  masih buang air besar sembarangan di sungai, di kebun ada yang di empang. Berdasarkan laporan Tingkat dan Tren Kematian Anak-anak 2014 PBB, Indonesia menduduki peringkat kedua – setelah India – sebagai negara dengan tingkat BABS terbesar kedua di dunia, mencapai seperlima dari total populasi.

Menurut Eko perilaku BAB sembarangan tak hanya dilakukan oleh masyarakat desa tetapi juga kota-kota besar. Di Jakarta, tercatat sekitar 40% warga masih dianggap BAB sembarangan, karena meski memiliki toilet yang bagus tetapi pembuangannya menggunakan pipa yang langsung ke sungai dan tidak menggunakan septic tank sehingga mencemari air dan tanah.

“Kalau kita hitung manusia itu bisa mengeluarkan kira-kira tinja 0,4 kg per hari. Bayangkan berapa banyak tinja yang akan mengotori sungai atau tanah dan ketika hujan tanahnya mengalir mengotori sumur masyarakat,” kata Eko. Selain mencemari lingkungan , BAB sembarangan juga berdampak langsung kepada masyarakat terutama kesehatan anak-anak.

Rugi Rp 56,8 triliun 

“Angka kematian akibat diare pada balita itu masih menjadi proporsi yang besar, sekitar 23%. Penyakit lain seperti pneumonia atau radang paru-paru juga karena air tercemar. Selain itu tidak cuci tangan dengan bersih berakibat usus terpapar terus oleh kuman dan bakteri, sehingga infeksi kecacingan,” kata Dr Budi Setiawan dari UNICEF Indonesia.

Semua kondisi itu, lanjutnya, biasanya disertai tidak masuknya zat gizi terhadap tubuh anak sehingga mengakibatkan stunting (tubuh pendek). Kemenkes memperkirakan kerugian ekonomi akibat perilaku BAB sembarangan merugikan perekonomian hingga  Rp 56,8 trilliun per tahun, antara lain untuk biaya pelayanan kesehatan untuk mengatasi penyakit akibat sanitasi yang buruk seperti diare.

Juru bicara soal pembangunan UNICEF Indonesia, Desiree Tilaar, menyatakan sejak 2014, pihaknya meluncurkan program kampanye Tinju Tinja yang tahun 2015 bertujuan melibatkan masyarakat agar menghentikan perilaku BAB sembarangan.
“Caranya ada tiga, yaitu berkomitmen membantu kampanye ini, aksi nyata menyebarkan fakta di media sosial media atau berbagai gathering, dan memberi materi kreatif di kalangan anak muda,“ jelas Desiree.

Untuk menghentikan kebiasaan BAB Sembarangan, pemerintah bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional dan lokal, menjalankan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang bertujuan untuk mengubah perilaku agar lebih peduli terhadap kebersihan lingkungan.