RAB.com (JAKARTA): Kasus dugaan penodaan agama Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) memasuki episode baru. Status terdakwanya dijadikan dalih oleh sekelompok politisi Senayan untuk mengajukan hak angket kepada pemerintah. Yang jadi sumber polemik adalah dua poin dalam pasal Pasal 83 UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) Tahun 2014: bahwa Ahok harus diberhentikan sementara karena ancaman hukuman dalam dakwaan lima tahun dan bisa memecah belah bangsa.
Dalam soal yang terasa dicari-cari, karena isyunya seperti hanya khusus ditujukan untuk Ahok, para anggota dewan terhormat yang sempat disebut Gus Dur seperti murid taman kanak-kanak (TK) ini kembali gaduh. Mereka sepertinya tidak kehabisan pasal untuk mempermasalahkan dan mengganggu langkah Ahok. Langkah yang oleh sejumlah pengamat dianggap menurunkan derajat DPR karena hanya mengurusi Ahok.
Bukannya menenteramkan situasi menjelang pemungutan suara pada pemilihan kepala daerah serentak, tapi malah membuat keributan baru. Menghadapi polemik ini, Mendagri Tjahjo Kumolo berkonsultasi dengan Presiden dan diinstruksikan untuk membawa masalah itu ke Mahkamah Agung (MA). Tujuannya untuk mendapatkan kepastian hukum terkait perbedaan penafsiran antara dua kubu: yang setuju Ahok diaktifkan lagi dan yang minta diberhentikan sementara.
Sementara itu MA saat ditanya tentang tafsir aturan pada Pasal 83 juga mengatakan bahwa tidak akan serta merta mengeluarkan fatwa tentang perbedaan penafsiran itu. Sepertiya lembaga yang baru saja memilih ketua lama untuk meneruskan ke masa jabatan selanjutnya itu tak ingin kecipratan abu panas dari perkara itu. “Kami nggak boleh berikan pendapat sebelum lihat materi yang diajukan (Mendagri) untuk mengeluarkan fatwa,” kata Ketua MA M. Hatta Ali.
Hatta menegaskan, jika permohonan fatwa untuk meredam gejolak politik maka sebaiknya Kemendagri harus mengambil sikap. Menurutnya menerbitkan fatwa bukan sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah. “Kalau memang untuk meredam, silakan saja tentukan saja sikapnya lewat kementerian sendiri. Fatwa itu tidak mengikat. Boleh diikuti atau tidak, mengeluarkan juga tidak selesaikan masalah,” ujarnya.
Hatta juga menegaskan pihaknya tidak akan buru-buru mengeluarkan fatwa untuk Ahok karena itu bisa mempengaruhi independensi Ahok yang kini berperkara di pengadilan. Dia akan mengeluarkan fatwa sangat hati-hati setelah membaca permohonan fatwa. “Di kepemimpinan saya, saya mengurangi untuk mengeluarkan fatwa karena bisa mempengaruhi independensi hakim dan bisa ditebak oleh pihak-pihak yang berperkara,” ujar Hatta.
Sementara itu Ahok enggan memberikan tanggapan soal pengaktifaannya kembali sebagai gubernur yang dianggap bermasalah karena status terdakwanya dalam kasus dugaan penodaan agama. Ahok hanya menjawab singkat: “Tanyakan saja pada mereka.”
Sedangkan di gedung DPR, wakil ketua DPR Fadli Zon mengatakan hak angket di DPR akan tetap berjalan apapun bunyi dari fatwa MA. Ini karena baik MA maupun DPR berada di ranah yang berbeda yaitu judikatif dan legislatif. “Proses di MA dengan fatwa itu silakan berjalan sendiri. Itu tidak ada hubungannya. Di DPR ini kan penggunaan hak yang dijamin konstitusi kita dalam rangka fungsi pengawasan.”
Kontroversi penafsiran hukum terjadi karena Pasal 83 ayat 1 UU Pemda 2014 menyebutkan: Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ahok didakwa dengan Pasal 156 KUHP yang ancaman hukumannya Paling Lama (Maksimum) 4 Tahun sebagai dakwaan primer/kesatu; dan Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya Paling Lama (Maksimum) 5 Tahun sebagai dakwaan sekunder atau kedua. Berdasarkan uraian Pasal 83 ayat (1) tersebut, ternyata dakwaan pertama tidak memenuhi unsur Pasal 83 ayat 1 UU Pemda 2014 untuk jenis tindak pidana pertama sehingga tidak memenuhi unsur ini. Sedangkan untuk dakwaan kedua, unsur alasan pemberhentian berbeda pada frasa paling lama dan paling singkat.
Sedangkan dalih bahwa Perbuatan Lain yang dapat memecah belah NKRI. Pada alasan ini juga menimbulkan persoalan. Pertanyaannya adalah apakah ini bentuk suatu tindak pidana yang harus didakwakan atau jenis diskresi/keputusan politik hukum Presiden? Bagaimana mekanisme menentukan seseorang Kepala Daerah/Wakilnya diberhentikan sementara karena diduga melakukan perbuatan ini? Bukankah mestinya hal itu ditentukan lewat keputusan pengadilan.
Masalah yang tampaknya masih akan terus bergulir ini tidak mustahil akan memberikan dampak kepada sikap pemilih di DKI Jakarta. Menarik untuk ditunggu dan disaksikan bersama apakah hambatan bertubi-tubi yang sepertinya hanya bertujuan mendelegitimasi Ahok agar tak bisa mengikuti pilkada ini akan berdampak bertambah atau berkurangnya dukungan para pemilih yang akan memberikan suaranya pada esok hari.