Presiden Desak UU Anti-Terorisme Segera Dirampungkan

teror

RAB.com (JAKARTA): Presiden Jokowi mendesak agar Undang-Undang (UU) Anti-Terorisme segera dirampungkan oleh DPR dan pemerintah setelah insiden bom Kampung Melayu. UU Anti-Terorisme diharapkan memudahkan penegak hukum karena memiliki landasan yang kuat dalam bertindak dan melakukan upaya pencegahan. Sementara DPR masih berkutat pada tiga isu yaitu definisi terorisme, soal kewenangan penindakan, serta masalah rehabilitasi terkait pelaku tindak pidana terorisme.

“Kita ingin pemerintah dan DPR segera selesaikan Undang-Undang Anti-Terorisme. terorisme telah menjadi masalah di hampir seluruh negara dunia. Bedanya, di luar negeri, regulasi untuk mencegah aksi teror telah ada,” kata Jokowi usai meninjau lokasi bom Kampung Melayu, Kamis malam, (25/5). Keberadaan UU, kata dia, memudahkan aparat penegak hukum di sana untuk menghentikan aksi teror sebelum terjadi seperti insiden bom Kampung Melayu.

“Ini sebuah masalah yang mendesak, melihat kejadian kemarin (bom Kampung Melayu), sehingga tadi sudah memerintahkan untuk Menkopolhukam segera menyelesaikan Undang-Undang anti-terorisme ini,” kata Jokowi hampir 20 menit berada di lokasi kejadian setelah langsung terbang dari rumahnya di Solo ke Jakarta.

Terlihat hadir mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Syafruddin, dan Kepala Badan Intelelijen Negara Jenderal Budi Gunawan. Selain itu, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochammad Iriawan juga Pangdam Jaya Mayor Jenderal Jaswandi. Sebelum meninjau lokasi, ia menyempatkan diri menyambangi Rumah Sakit Polri Kramat Jati untuk menjenguk korban yang terluka.

Jokowi menegaskan bila Undang-undang Anti-Terorisme perlu segera diselesaikan agar kejadian serupa bisa dicegah. “Kita ingin pemerintah segera menyelesaikan Undang-undang Antiterorisme sehingga akan memudahkan aparat penegak hukum untuk menindak sebelum kejadian atau pencegahan,” ujar Jokowi.

Presiden sebelumnya sudah mengatakan telah memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk  mengusut tuntas jaringan-jaringan pelaku yang terlibat. Saya perintahkan untuk mengejar sampai ke akar-akarnya, karena kita tahu korban yang ada, ini sudah keterlaluan. Korban-korban yang ada, tukang ojek jadi korban, sopir angkot jadi korban, penjual lapak kelontong jadi korban, polisi jadi korban,” kata Jokowi di depan kediamannya, di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (25/5)

Masih dibahas di DPR

Saat ini, RUU Anti-Terorisme masih dalam proses pembahasan di DPR. RUU tersebut sudah ada di program legislasi nasional (Prolegnas) DPR sejak Januari 2016 silam atas usulan pemerintah. Setelah surat presiden dan draf RUU diterima, RUU baru mulai dibahas sejak bulan Maret 2016 dengan pembentukan pansus (panitia khusus) yang anggotanya berasal dari lintas fraksi dan lintas komisi.

Anggota Komisi I DPR Charles Honoris mengatakan perdebatan  terkait dengan revisi UU Terorisme di internal pansus cukup alot sehingga terkesan lambat pembahasannya. “Tapi sebenarnya pembahasan masih dalam skedul,” ujarnya perdebatan di internal mirip dengan yang terjadi di luar pansus, yaitu, terkait definisi organisasi teroris, sejauh mana keterlibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, dan soal rehabilitasi.

Meskipun sudah menjadi kebutuhan mendesak karena di masyarakat kasusnya sudah menjadi-jadi dengan insiden bom Kampung Melayu, kata Charles, DPR dalam melakukan pembahasan UU sebelum diketok, DPR harus hati-hati dan cermat.  Hal ini perlu, tuturnya, agar hasilnya tidak tumpang tindih dengan aturan lainnya, termasuk UUD sehingga saat diuji di MK pasal UU tersebut tidak dengan mudah dibatalkan.

“Jadi memang membahas UU tidak bisa sehari atau semudah membalik telapak tangan butuh waktu dan proses sehingga walaupun hari ini kita tahu ada urgensi tinggi, proses itu harus dijalani dengan cermat dan jeli dengan tidak mengurangi substansi apa yang dibahas,” ujarnya di salah satu acara TV swasta. Charles menampik bila ada perebutan wewenang atau kepentingan antar instansi dalam penanganan terorisme karena semua pembahasan masih dilakukan sesuai dengan koridornya.

Tentang perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR, dia mengatakan bahwa tentunya sudah ada Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sudah dibuat sampai saat ini. “Dari sekitar 50 pasal, baru sampai sekitar 25 pasal yang disepakati. Yang lain sudah diusulkan untuk diubah oleh DPR melalui pembahasan di pansus,” ujarnya menambahkan yang alot ada tiga isu utama, yaitu pencegahan dan deteksi dini, penindakan, dan rehabilitasi.

Seperti kata civil society, lanjuntya, DPR setuju bahwa akar terorisme itu tidak jauh dari ujaran kebencian yang sudah ada dalam pasal 13a. Bahwa ujaran kebencian yang mengarah pada tindak pidana terorisme sekarang sudah bisa dibidik dengan hukuman pidana minimal 3 sampai 12 tahun. Isu kedua masalah penindakan yang ada polemik soal masa penangkapan dan penahanan tadi. Bahkan kalau sampai pengadilan dimungkinkan masa penahanannya sampai 300 hari.

Khawatir pelanggaran HAM

“Itu menjadi perdebatan karena dianggap terlalu lama. DPR pada dasarnya tidak keberatan dengan usul pemerintah karena tinggal pengawasannya seperti apa. Yang pasti ketika ada di masa penahanan, terduga pelaku terorisme  tidak boleh dilarang bertemu keluarga dan pengacaranya. Juga ada akses ke Komnas HAM dan Kompolnas sehingga kekhawatiran adanya pelanggaran HAM dan abuse of power tidak terjadi. Isu ketiga terkait rehabilitasi yang mana di revisi UU baru ada rehabilitasi terhadap korban dan korban salah tangkap.”

Setahun berselang, pansus RUU mengadakan rapat dengan banyak pihak. Mulai dari pemerintah, lembaga, hingga ormas-ormas untuk dimintai masukan. Ada pula diskusi-diskusi yang dilakukan hingga kunjungan Densus 88, Den Bravo, Denjaka, Sat 81 Gultor. Pada Desember 2016 lalu, pansus RUU Anti-Terorisme menyerahkan  (DIM) ke pihak pemerintah. Pansus pun membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk penyempurnaan revisi UU tersebut. Panja kemudian membedah satu persatu pasal di RUU Anti-Terorisme.

Saat itu, Ketua Panja RUU M Syafi’i menargetkan RUU Anti-Terorisme akan selesai pada bulan April 2017. Hanya saja, hingga kini pembahasan belum selesai. Sejak pembentukan panja, pembahasan RUU Anti-Terorisme mandek gara-gara pembahasan soal definisi ‘terorisme’. Pada Februari 2017, panja belum membahas pasal-pasal soal perluasan kewenangan dan pidana materiil. Termasuk soal penguatan kelembagaan. Saat itu, banyak pihak belum satu suara.

Di tengah proses pembahasan itu, Pansus RUU Anti-Terorisme juga sudah terbang ke Inggris untuk melakukan kunjungan kerja saat masa reses pada bulan Mei 2017. Panja mempelajari koordinasi antar lembaga dalam menangani teroris di Inggris. Panja juga mempelajari peran tentara Inggris jika terjadi tindakan terorisme. Sederet pasal di RUU Antiterorisme masih alot dibahas, misalnya soal peran TNI dalam menanggulangi teroris hingga pasal ‘Guantanamo’ terkait masa penahanan terduga teroris.

Lebih dari setahun, RUU Anti-Terorisme belum kunjung selesai dibahas. Presiden Jokowi sudah mendesak pembahasan dipercepat, akankah segera selesai?