Realitas Liar Media Sosial Kian Tak Terbendung

 

hang

RAB.com (JAKARTA): Media sosial (medsos) memunculkan kenyataan liar tersendiri yang seakan kian tak terbendung. Di negeri yang konon amat beragama dan masih guyub masyarakatnya ini sudah kejadian untuk pertama kalinya ada orang gantung diri dengan menyiarkan langsung (live) perbuatannya yang sangat salah menurut norma sosial yang berlaku lewat Facebook.

Bisa jadi ini kasus sangat khusus yang hanya bisa terjadi di kota besar yang sudah sebegitu individualis dan begitu beratnya tekanan hidup. Soalnya perbuatan yang rekamannya sudah viral, sebelum media massa konvensional ikut memberitakan ini, bisa menjadi “inspirasi” bagi banyak orang, baik yang hanya terpapar atau aktif, di medsos.

Sejak disiarkan pada Jumat (17/3) pukul 09.22 hingga 21.02, video itu telah ditonton 69.000 kali. Jumlahnya terus bertambah sebelum Facebook yang awalnya hanya memberi peringatan tentang tayangan yang akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemirsanya dan akhirnya benar-benar dihapus keesokan harinya. Namun video ini sudah di-share ribuan kali, termasuk lewat Whatapps.

Tayangan bunuh diri live di FB langsung membuat banyak orang ingin tahu (kepo). Mengulik dan menelisik apa yang tidak diceritakan wartawan di berita dengan masuk langsung ke akun pelaku gantung diri. Dan sepertinya apa saja yang disampaikan di akunnya memang bikin orang tambah penasaran dengan tulisan-tulisan di status yang isinya kayak curhatan anak SMA.

Isi yang menonjol dari urusan mabuk, seolah punya simpanan, sampai keluhan dan kesulitan hidup dengan nada canda dan serius. Yang menarik penulisnya adalah bapak beranak lima berusia 50 tahun, dan sudah menikah selama 17 tahun. Bila dilacak sejak 2000 baru sekitar 2010 akun tersebut aktif dengan tulisan status yang bagi sebagian orang bisa menafsirkan macam-macam.

Dari si pria yang pekerjaan terakhirnya sebagai sopir online dan rental dan ada kesan nakal serta tanggapan istrinya yang bernada mencemooh dan dingin saja. Meskipun ada banyak foto menunjukkan kemeriahan saat pasangan ini berlibur dengan anak-anaknya, sepertinya memang ada masalah yang berusaha diselesaikan tapi lalu buntu.

hang1

Satu potret buram metropolitan?

Dari perkembangan pemberitaan, sedikit demi sedikit terkuak bahwa keluarga itu tinggal di Bintaro setahun berselang di rumah kontrakan. Rumah terakhir yang ditinggali di Ciganjur ternyata milik orangtua pelaku bunuh diri.
Sedangkan mobil niaga yang menjadi salah satu properti foto ternyata juga punya orang lain. Mobil itu langsung diambil pemiliknya setelah peristiwa tragis yang menghebohkan itu. Pendeknya pelaku seperti dikejar kebutuhan hidup yang tak surut-surutnya.
Tentu saja yang masih jadi pertanyaan sampai sebesar apa sebenarnya stres yang dihadapi sampai akhirnya memutuskan untuk bunuh diri disaksikan banyak orang. Lepas dari keinginan untuk memberi kenangan pada istrinya dan menunjukkan cintanya yang sangat besar juga pada keluarganya.

Mungkin inilah salah satu potret buram warga kota metropolitan
yang tanpa dukungan memadai harus bertarung keras tanpa kepastian tiap hari. Pertarungan yang membuatnya harus juga berkonflik dengan keluarganya yang bisa jadi di mata dia tahunya menuntut dan terus menuntut. Status bapak dianggap sebagai penanggung jawab utama pencari nafkah di tengah kewajiban yang jauh dari selesai membesarkan 5 anak yang paling besar 17 tahun dan bungsu 5 tahun.

Bisa jadi ini masalah ini akan menjadi makin kronis terutama mengingat kondisi perekonomian warga yang kian sulit meskipun terus diupayakan pengatasannya oleh pemerintah. Hal yang dikhawatirkan karena biasanya terjadi peniruan (copy cat) meskipun jelas aksi atau tindakan yang dilakukan salah dan keluar dari norma sosial yang ada. Yang susah tak ada perangkat apapun yang bisa digunakan untuk mencegah perilaku bunuh diri dilakukan.

Saran psikolog

Psikolog Reza Indragiri mempertanyakan adanya ironi yang ditunjukkan pada perilaku kontradiktif pelaku: rindu istrinya dan sayang anaknya tapi dia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Aksi bunuh diri ini, kata  Reza seperti dikutip detik,com (17/3), juga menimbulkan pertanyaan lain, yaitu apakah benar karena keinginan Indra semata untuk ‘pergi’ atau kebutuhannya untuk mendapatkan pertolongan.

Reza memaparkan, dari sekian banyak kasus upaya bunuh diri, para pelaku yang gagal mengakhiri hidupnya mengaku membatalkan keinginan tersebut jika ada orang yang mengulurkan tangannya atau menyediakan telinganya untuk mendengar di detik-detik upaya bunuh diri itu. Hal ini bisa memicu pelaku mengurungkan niat melanjutkan aksi nekat tersebut.

“Nah ini pesan pada kita bahwa kalau saja orang-orang yang melakukan bunuh diri tersebut pada dasarnya ingin mencari pertolongan atau bantuan, maka semestinya masih ada yang bisa kita lakukan menjelang orang tersebut mengakhiri hidupnya,” ucap Reza. “Tapi karena tidak tersedia telinga, tidak tersedia mata, tidak tersedia tangan yang diulurkan, maka ya sudah orang itu semakin tenggelam dalam pemikiran sempit bahwa bunuh diri adalah solusi, padahal ini adalah solusi yang salah,” sambungnya.

Lebih jauh, efek dari kasus ini juga bisa berujung pada copycat suicide atau orang memilih bunuh diri karena faktor meniru, bukan karena adanya tekanan atau masalah berat yang sedang dihadapi.

“Kenapa akhirnya ada orang melakukan copycat suicide, karena orang-orang tersebut secara salah menangkap pesan dari kita bahwa ternyata aksi tragis semacam ini diekspos habis-habisan oleh media sehingga bisa viral. Kita harus tegaskan di samping sedih, prihatin, ini salah besar,” tutur Reza.

“Kita boleh bersedih, merasa kehilangan. Tapi, demi kepentingan bersama, pesan yang paling harus kita garisbawahi adalah salah! salah! Jangan ditiru! Bukan menyelesaikan masalah, justru memperlebar dan menularkan masalah,” imbuhnya.

Dia pun mengimbau warga lebih baik tidak melihat video tersebut. Sebab, hal tersebut bisa memicu inspirasi untuk melakukan hal serupa dengan efek ‘populer’. “Nonton adegan itu tidak ada gunanya, bagi orang yang sedang sedih, orang yang terpisah dari orang tersayang, orang-orang yang sedang bermasalah kan bisa jadi sangat rentan dan bisa jadi meniru, jadi tidak usah dilihat dan di-download,” tegas Reza.

Pengamat media sosial Nukman Luthfi, seperti dikutip Tempo (18/3), mengatakan perkembangan teknologi memang bisa membuat setiap orang terkejut. Sisi gelap dari perkembangan teknologi itu, kata dia, memunculkan banyak hal yang bisa dieksploitasi dan nyaris tak terbatas. “Setiap orang pengen dilihat. Normalnya seperti itu,” ujarnya.

Kematian pelaku yang kejadiannya tayang di media sosial itu pun, menurut Nukman, di luar dugaan semua orang. Ia melihat, teknologi membuka banyak hal yang bisa membuat orang berbuat hal negatif. Selain itu, dunia digital akan bergerak lebih dulu daripada polisi atau orang yang punya kemampuan untuk mencegah hal negatif terjadi. “Kita, mau tidak mau harus menerima kenyataan itu. Kenapa sampai seekstrim ini? Karena pelaku mau pamer,” ujarnya.

Jelasnya, katanya, pelaku memiliki fasilitas untuk menunjukkan proses bunuh dirinya, yaitu adanya fitur live di Facebook. “Kalau tidak ada live Facebook kan dia tidak bisa pakai,” katanya. Karena itu, Nukman mengimbau semua orang untuk bersiap-siap menghadapi segala macam efek negatif dari perkembangan teknologi.